Kisah Ranni, Guru Muda Jadi Relawan Pemulasaraan Jenazah Covid-19

Jadi saat pertama kali gabung itu lagi hektic di kota Depok sendiri. Kemudian kurang tenaga relawan, akhirnya saya mengajukan diri, kata Ranni.

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut
Minggu, 25 Juli 2021 | 17:38 WIB
Kisah Ranni, Guru Muda Jadi Relawan Pemulasaraan Jenazah Covid-19
Ranni Novianti Yasinta, seorang guru muda (Sisi paling kiri) menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. (Ist)

SuaraJakarta.id - Sebanyak 1.566 pasien Covid-19 dilaporkan meninggal dunia pada Jumat (23/7/2021), sehingga secara akumulasi angka kematian akibat virus corona 80.598 jiwa.

Ranni Novianti Yasinta (22), seorang guru muda menahan pilu di hati melihat banyaknya angka kematian akibat corona.

Di daerah tempat tinggalnya, Kota Depok angka kematian juga terbilang cukup tinggi. Pada Jumat (23/7) kemarin terdapat 27 orang meninggal dunia akibat Covid-19, sehingga secara keseluruha sebanyak 1.544 jiwa.

Melihat angka-angka itu, Ranni mau berpangku tangan. Pada pertengahan Juni bersamaan dengan kasus yang meningkat dan jumlah korban jiwa yang terus bertambah mendorong dirinya mengambil sebuah keputusan yang terbilang nekat.

Baca Juga:Kematian Meningkat, Satgas Desa Ikut Bantu Pemakaman dan Pemulasaraan Jenazah Covid-19

Dia memutuskan bergabung dengan relawan Satgas Covid-19 Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, membantu pemulasaraan jenazah korban keganasan Covid-19.

“Jadi saat pertama kali gabung itu lagi hektic di kota Depok sendiri. Kemudian kurang tenaga relawan, akhirnya saya mengajukan diri,” kata Ranni dalam perbincangan dengan Suara.com baru-baru ini.

Gayung bersambut, dia diterima menjadi relawan. Padahal ia mengaku tak memiliki pengalaman yang mumpuni dalam pengurusan jenazah, khususnya pasien Covid-19.

Terlebih profesi sehari-harinya hanya seorang guru di sebuah sekolah dasar, serta latar belakang pendidikannya bukan bidang kesehatan. “Jadinya kayak ada tantangan tersendiri,” ujar Ranni.

Pada 23 Juni lalu, jadi hari pertamanya sebagai seorang relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. Ia tak menampik, rasa
khawatir sempat membayanginya.

Baca Juga:Muncul Kasus Kematian Covid-19 Saat Isoman, BPBD DIY Buka Layanan Pemulasaraan Jenazah

Relawan pemulasaraan jenazah Covid-19 tengah istirahat. (Ist)
Relawan pemulasaraan jenazah Covid-19 tengah istirahat. (Ist)

“Rasa khawatir pasti ada, takut terpapar, apalagi ini jenazah Covid-19 langsung,” imbuhnya.

Namun, pada hari pertamanya Ranni tidak langsung terlibat, dia hanya diminta untuk membantu sekedarnya sambil diberikan arahan.

Menurut Ranni, penanganan jenazah Covid-19 tak berbeda jauh dengan mayat pada umumnya. Hanya pada proses pemandiannya menggunakan cairan disinfektan yang disemprotkan dan pengafanannya yang harus dilapisi plastik.

Menjadi relawan pemulasaraan jenazah Covid-19, Ranni bersama biasa menangani pasien yang meninggal di rumah saat isolasi mandiri. Terkadang juga membantu penanganan di rumah sakit. Dalam sehari dia bersama timnya dapat mengurus delapan sampai sembilan jenazah.

Bahkan pada perayaan Idul Adha lalu, mereka harus tetap bertugas, pada saat itu ada sekitar 12 jenazah yang harus diurus.

“Jadi dalam beberapa waktu ini angkanya naik-turun,” ucap Ranni.

Selama bertugas sebagai relawan, tak jarang Ranni dan timnya mendapatkan penolakan dari ahli waris. Pihak keluarga meminta agar pemulasaraan jenazah dilakukan seperti mayat pada umumnya, tidak dengan protokol kesehatan.

“Ada saja keluarga yang menolak, karena menilai keluarga mereka meninggal bukan karena Covid-19 atau menganggap di-Covid-kan,” tutur Ranni.

Pada situasi itu, Ranni bersama timnya harus melakukan upaya persuasif, memberikan edukasi dan menjelaskan risiko bila
jenazah diurus tanpa protokol kesehatan.

Beruntungnya ada ketentuan antara tim Satgas dengan pihak keluarga. Ahli waris tidak dapat menuntut Ranni dan timnya bila terjadi sesuatu hal yang tak dinginkan pada kemudian hari. Dalam arti ada perjanjian hitam di atas putih bermeterai.

Hal itu berlaku kepada ahli waris yang menerima jenazah keluarganya ditangani dengan protokol kesehatan maupun yang
menolak.

“Bagi yang menerima tinggal ceklis tanda menerima di kolom perjanjian. Bagi yang menolak juga tinggal ceklis menolak. Tapi segala risikonya menjadi tanggung jawab mereka,” jelas Ranni.

“Yang penting kami sudah memberikan penjelasan, penolakan juga tidak bisa dilakukan dengan mudah, karena prosedurnya banyak dan ribet,” sambungnya.

Tak Lupakan Profesi Guru

Mengemban tugas sebagai relawan menuntut Ranni harus bisa membagi waktu dengan tugas utamanya sebagai seorang guru.

“Jadikan saya hanya sebagai relawan, profesi utama sebagai guru tetap saya jalankan,” ujarnya.

Beruntung, karena proses belajar mengajar tatap muka secara langsung ditiadakan, membuatnya memiliki banyak waktu.

Sejak pembelajaran dilakukan secara daring, durasi proses mengajar menjadi lebih singkat, sehingga sisa waktu
dimanfaatkan Ranni untuk bertugas sebagai relawan.

“Biasakan mengajar sampai pukul tiga, tapi sekarang hanya sampai jam 12. Jadi kami guru-guru pulang lebih awal,” tuturnya.

Dirahasiakan Dari Keluarga

Memutuskan menjadi relawan Satgas Covid-19, sempat membuat Ranni menyembunyikannya, karena khawatir keluarga besarnya menentang. Kata Ranni saat mendaftarkan diri untuk jadi relawan, dia tidak memberi tahu orang tuanya, hingga akhirnya berterus terang.

“Jadi pas saya kasi tahu mama, beliau kaget. Terus bertanya, kamu siap? saya jawab, siap tidak siap harus siap, saya jawab begitu,” ucapnya.

Pada saat itu pula, dia mencoba meyakinkan orang tuanya, hingga mendapatkan restu. Namun Ranni dipesankan untuk tidak salah niat dengan pilihannya tersebut. Dalam arti niatnya memang harus membantu orang lain, bukan karena dasar adanya imbalan.

“Jadi hal yang paling ditekankan juga, jangan sampai salah niat. Jadi memang di rumah itu yang selalu diingatkan keluarga,
apalagi yang dalam tugas ini saya menangani mereka yang sudah tidak bernyawa,” ujar Ranni.

Sementara itu kepada keluarga besarnya, Ranni sempat merahasiakan selama tiga minggu bertugas sebagai relawan.
Hingga suatu waktu ada salah satu keluarganya, melihat Ranni turun dari ambulans diantar usai bertugas.

Kebetulan tempat tinggalnya berdampingan dengan rumah keluarga besarnya. “Karena sudah ketahuan akhirnya saya jujur, mungkin juga sudah waktunya mereka tahu,” katanya.

Tak disangka pilihannya mendapatkan dukungan. Keluarga besarnya tidak mempermasalahkan pilihan yang diambilnya, bahkan saat akan berangkat tugas, ia selalu diingatkan untuk menjaga kesehatan.

“Mereka mendukung, selalu ingatkan jaga kesehatan, minum vitamin,” tuturnya.

Rani menceritakan, dari banyak jenazah yang ditangani, membuatnya semakin mengingat kematian. Tugasnya ini memacu dirinya untuk meningkat ibadah kepada Tuhan.

Sebab kematian itu bisa saja terjadi padanya, tanpa mengenal waktu dan tempat.

“Jadi pelajaran yang saya dapat. Di mana pun, kapan pun, berbuat baik saja. Kita enggak tahu mati kapan, di mana, siapa
yang mengurus. Do Your Best. Jangan sampai menyakiti orang,” ujar Ranni.

Di samping itu Ranni juga berharap agar masyarakat menaati protokol kesehatan, sehingga tidak ada lagi korban dari
keganasan Covid-19. Serta dia tak perlu lagi bertugas mengkafani jenazah Covid-19.

Kendati demikian, Ranni mengaku tidak menyesal dengan pilihan yang diambilnya sebagai relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. Dia pun mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan sesama tim Satgas Covid-19 Pancoran Mas yang telah membimbing dan mengarahkannya saat pertama kali bertugas, sehingga sekarang lebih leluasa mengamban tanggung jawabnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini