Polemik Analogi Azan Belum Reda, Direktur Eksekutif KPN: Literasi Kita Masih Rendah

"Kalau melihat dari potongan videonya, saya melihat Menag tidak menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing."

Rizki Nurmansyah
Minggu, 06 Maret 2022 | 08:05 WIB
Polemik Analogi Azan Belum Reda, Direktur Eksekutif KPN: Literasi Kita Masih Rendah
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul. [SuaraJakarta.id/Wivy Hikmatullah]

SuaraJakarta.id - Pernyataan kontroversi Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing masih belum reda. Bahkan, diduga akan menjadi isu politik identitas yang mewarnai gelaran Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul mengatakan, polemik yang timbul sebagai pertanda bahwa literasi masyarakat masih rendah.

"Saya kira pertama, literasi dengan polemik yang dikeluarkan Menag ini menunjukkan bahwa lagi-lagi literasi masyarakat kita sangat minim. Apapun itu, selalu menjadi polemik yang harusnya tidak perlu dikembangkan terlalu jauh," kata Adib, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, hasil pengamatan yang dia lakukan dari video ketika Menag Gus Yaqut mengeluarkan statement tersebut, tak ada sepatah kata pun yang menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing.

Baca Juga:Soal Pendirian Rumah Ibadah Multi Agama di Kampus, Menag Yaqut: Ini Gerakan Simbolis

"Kalau melihat dari potongan videonya, saya melihat Menag tidak menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Karena di situ, ada titik koma lah. Jadi hanya menyamakan kondisi-kondisi kontekstual. Ketika dia bilang, ketika berada di komplek, itu saya kira sudah lepas dari azan," ungkapnya.

Adib pun ikut menganalogikan, ketika berada di lingkungan perumahan di mana warganya banyak yang memelihara anjing, tentu sebagai minoritas akan ikut terganggu.

"Kanan-kiri banyak lolongan anjing mengganggu kita nggak kalau kita minoritas? Saya yakin. Setelah berselancar di media massa mainstream, saya rasa memang banyak yang tidak melihat videonya secara utuh," paparnya.

"Makanya lagi-lagi literasi kita rendah, kita lebih senang dengan model literasi yang clickbait," sambungnya.

Dampak dari polemik yang timbul dari minim literasi soal statement Gus Yaqut itu, kata Adib, dapat membawa pengaruh pada hajat demokrasi besar Pemilu 2024 mendatang.

Baca Juga:Toleransi Beragama, Menag Yaqut: Tak Sekedar Terima Perbedaan, Tapi Memahami Sumber-sumber Perbedaan

Menurutnya, dengan polemik Menag itu, politik identitas akan menjadi isu yang ditonjolkan dalam setiap proses Pemilu 2024. Pasalnya, isu politik identitas sangat menyita perhatian publik.

"Kedua, dengan indikator literasi yang rendah ini, saya menganalisa, Pemilu 2024 politik identitas itu masih laku keras. Karena banyak ditarik ke mana-mana akhirnya," ungkapnya.

"Ketika kita bandingkan dengan orang Arab Saudi, di Turki, negara yang selalu jadi referensi keislaman kita itu, azan juga diatur kan. Ingat, bukan dilarang. Di sini (Indonesia) juga tidak dilarang. Saya kira dengan literasi yang model begini jadi indikator politik identitas masih laku keras," pungkas Adib.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak