SuaraJakarta.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menjadi pusat perhatian dan kritik tajam menyusul dikeluarkannya Keputusan KPU nomor 731 Tahun 2025.
Aturan tersebut, yang semula menetapkan dokumen calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan, memicu kegaduhan publik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan integritas proses demokrasi di Indonesia.
Meskipun KPU mengklaim keputusan ini bukan untuk melindungi pihak tertentu, reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Sugi Nur Raharja atau Gus Nur, menggambarkan tingkat ketidakpercayaan yang mendalam.
Gus Nur, dengan gaya lugasnya, menyoroti ironi mencolok dari kebijakan KPU.
Baca Juga:Biar Warga Bisa Mengawasi, KPU Jakarta Siapkan Buku Janji Kampanye Pramono Anung-Rano Karno
Ia membandingkan standar transparansi yang diterapkan dalam proses melamar pekerjaan di perusahaan kecil dengan kerahasiaan yang dituntut untuk posisi politik tertinggi.
Menurutnya, jika dokumen pelamar kerja biasa harus transparan, maka merahasiakan informasi penting terkait kandidat yang akan memimpin 280 juta rakyat adalah tindakan yang sangat tidak adil dan tidak dapat diterima.
“Sekarang ada muncul ini KPU membuat peraturan aneh – aneh.
Katanya akan menutup akses atau akan merahasiakan semua dokumen – dokumen capres dan cawapres 2029 yang akan datang ini,” ujar Gus Nur, dikutip dari youtubenya, Kamis (18/9/25).
Ia pun membandingkan hal ini dengan pelamar kerja yang gajinya UMR.
Baca Juga:KPU Nyatakan Semua Tahapan Pilgub Jakarta Telah Usai
“Untuk melamar kerja di Perusahaan kecil saja yang gaji UMR itu harus jelas, transparan, tidak boleh ditutup – tutupi. La ini untuk gawe yang besar menyangkut 280 juta rakyat, malah tidak boleh diakses, kecuali atas ijin yang punya, termasuk surat Kesehatan, surat kelakukan baik, termasuk ijazahnya tidak bisa diakses, ditutup, dirahasiakan sama KPU,” tambahnya.
Pernyataan ini secara eksplisit menggarisbawahi standar ganda yang dirasakan dalam sistem hukum dan politik.
Lebih jauh, Gus Nur secara blak-blakan menyatakan bahwa fenomena ini adalah yang pertama kali ia temui sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia.
Dugaan kuatnya mengarah pada intervensi politik, di mana ia mencurigai adanya pengaruh dari para pendukung Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi), di balik KPU.
“Sejak Indonesia Merdeka, 6 kali Ganti presiden, baru sekarang ini. Ini KPU ini Termul ini kayaknya,” sebutnya.
Gus Nur juga menyuarakan kekhawatiran mendalamnya tentang potensi kerusakan yang berkelanjutan, menuding bahwa fenomena ini adalah bagian dari "dampak kerusakan revolution mental" yang telah berlangsung sejak masa pemerintahan presiden ke-7.