- Singapura memulai uji coba taksi tanpa sopir (robotaxi) yang ditargetkan beroperasi publik pada 2026.
- Indonesia masih dalam tahap uji coba terbatas di IKN dan terhambat oleh belum adanya regulasi spesifik.
- Kesiapan infrastruktur jalan dan internet menjadi tantangan terbesar untuk adopsi mobil otonom di RI.
SuaraJakarta.id - Lanskap transportasi online di Asia Tenggara berada di ambang revolusi besar. Saat negara tetangga, Singapura, sudah melangkah maju dengan uji coba taksi tanpa sopir atau robotaxi, pertanyaan besar pun muncul: seberapa siap Indonesia menghadapi gelombang teknologi yang berpotensi menggerus profesi jutaan driver ojek dan taksi online?
Kabar terbaru dari Singapura menjadi sinyal kuat bahwa era kendaraan otonom bukan lagi fiksi ilmiah. Dua raksasa teknologi asal China, WeRide dan Pony AR, dilaporkan telah menggandeng mitra lokal untuk memulai layanan robotaxi di Negeri Singa.
Bahkan, salah satu pemain utama di industri ride-hailing, Grab, ikut serta dalam inisiatif ini. Bekerja sama dengan WeRide, Grab akan memulai uji coba kendaraan otonom di kawasan Punggol.
"Mereka akan mengerahkan armada yang terdiri dari 11 kendaraan dan memulai pengujian paling cepat bulan ini, dan berharap robotaxi tersebut siap untuk digunakan pada awal tahun 2026," demikian dikutip dari laporan media.
Baca Juga:KPK Heran, BI dan OJK Salurkan Dana CSR ke Yayasan milik Anggota DPR Komisi XI
Langkah progresif ini didukung penuh oleh pemerintah setempat. Kementerian Perhubungan Singapura menargetkan kendaraan otonom terintegrasi dalam jaringan transportasi publik nasional, dimulai dari kawasan perumahan pada akhir tahun.
Ini menunjukkan keseriusan Singapura dalam mengadopsi teknologi yang diyakini lebih efisien dan aman.
Indonesia, Siap atau Tertinggal?
Sementara Singapura tancap gas, Indonesia terlihat masih berada di 'garis start'. Meskipun wacana kendaraan otonom telah lama bergulir, implementasinya di Tanah Air menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks.
Pemerintah memang tidak menutup mata. Uji coba kendaraan tanpa awak sudah dilakukan, namun skalanya masih sangat terbatas di lingkungan terkontrol. Contoh paling nyata adalah pengujian Trem Otonom atau Autonomous Rail Transit (ART) di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Baca Juga:Sosok Presiden Direktur Pertama PT Nissen Chemitec Berpulang dalam Insiden Tragis
Proyek ini menjadi bagian dari visi IKN sebagai kota pintar masa depan dengan sistem transportasi modern dan ramah lingkungan.
Selain IKN, proyek percontohan juga pernah berlangsung di kawasan terencana seperti BSD City.
Namun, mimpi meluncurkan robotaxi di jalanan padat Jakarta, Surabaya, atau kota-kota besar lainnya masih jauh panggang dari api. Persoalan mendasar terletak pada dua aspek krusial: regulasi dan infrastruktur.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki payung hukum yang spesifik untuk kendaraan otonom.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang ada saat ini belum mengakomodasi teknologi tanpa pengemudi.
Hal ini menciptakan kekosongan hukum, terutama terkait siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan.
Di sisi lain, kondisi infrastruktur menjadi pekerjaan rumah yang tak kalah pelik. Mobil otonom membutuhkan dukungan infrastruktur presisi tinggi, seperti marka jalan yang jelas dan konsisten, rambu lalu lintas terstandarisasi, serta konektivitas internet 5G yang stabil untuk komunikasi antar-kendaraan (V2V) dan kendaraan dengan infrastruktur (V2I).
Kondisi jalanan di Indonesia yang sangat beragam, marka yang sering tak terlihat, hingga kualitas sinyal internet yang belum merata menjadi tantangan berat.
Ancaman Nyata di Depan Mata
Di tengah kompleksitas teknologi dan regulasi, ada aspek sosial-ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Kehadiran transportasi online telah menjadi katup pengaman ekonomi dan sumber penghidupan bagi jutaan orang di Indonesia.
Transisi menuju kendaraan otonom secara langsung mengancam keberlangsungan profesi ini.
Meskipun "kiamat" bagi pengemudi online di Indonesia mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, kemajuan pesat di negara tetangga menjadi pengingat keras.
Tanpa persiapan matang dari sisi regulasi, percepatan pembangunan infrastruktur digital dan fisik, serta solusi bagi potensi dampak sosial, Indonesia berisiko tertinggal dan hanya menjadi penonton dalam revolusi transportasi global.