-
Pemerintah merevisi PP No. 71/2019 (turunan UU ITE) dengan fokus pada tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET)
-
Praktisi menilai TTET berpotensi menambah biaya dan menghambat transaksi digital, khususnya UMKM
-
Literasi digital, perlindungan data pribadi, dan keamanan berlapis perlu jadi prioritas
Untuk saat ini, pada dasarnya Indonesia telah memiliki paket kebijakan pengamanan transaksi digital yang relatif lengkap dan tumbuh secara organik melalui inovasi industri. Mekanisme keamanan berlapis telah menjadi praktik umum di sektor jasa keuangan.
Beberapa diantaranya mencakup penerapan One Time Password (OTP), Personal Identification Number (PIN), biometrik, hingga verifikasi identitas melalui Know Your Customer (KYC) telah menjadi standar dalam sektor jasa keuangan digital.
Salah satu contoh keberhasilan penerapan pengamanan organik tersebut dapat dilihat dari hadirnya Indonesia Anti Scam Center (IASC) yang berfungsi sebagai wadah koordinasi bagi lembaga keuangan dalam memantau serta menekan potensi penipuan.
Wadah tersebut mampu membentuk mekanisme anti penipuan (anti-fraud) yang efektif tanpa harus terikat regulasi yang berlebihan, cenderung prosedural, atau teknologi-spesifik.
Dalam konteks pengamanan transaksi digital, literasi digital menjadi aspek yang sangat krusial.
Teknologi keamanan berlapis yang sudah tersedia seperti PIN, OTP, biometrik, dan KYC, tidak akan efektif sepenuhnya apabila pengguna tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang cara melindungi data pribadinya.
Oleh karena itu, masyarakat juga perlu terus diingatkan untuk tidak pernah membagikan data sensitif seperti PIN, OTP, maupun informasi identitas lainnya kepada pihak manapun.
Di dalam forum ini, turut disampaikan beberapa rekomendasi seperti perlunya memperjelas definisi "transaksi elektronik berisiko tinggi" melalui peraturan teknis turunan dari UU ITE.
Pada saat yang sama, ruang inovasi bagi industri juga perlu tetap dijaga, termasuk mendorong kolaborasi antar pelaku sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan IASC.
Selain itu, pelindungan data pribadi pengguna juga harus ditempatkan sebagai fondasi utama dalam membangun ekosistem digital yang berorientasi pada kepentingan konsumen.
Sementara itu, pengaturan teknis mengenai transaksi berisiko tinggi sebaiknya ditetapkan oleh otoritas yang memiliki mandat dan kompetensi langsung dalam mengawasi industri pembayaran dan keuangan digital, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Revisi peraturan teknis turunan UU ITE dapat menjadi sebuah momentum untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital tanpa mengabaikan kenyamanan pengguna.
Kebijakan yang progresif perlu dirancang untuk menjawab berbagai tantangan dan risiko yang ada, dengan tetap mengutamakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen. Kerja sama lintas sektor menjadi hal sangat penting dalam merumuskan manajemen risiko yang efektif.