- Evaluasi utama 1 tahun Prabowo bukan soal prestasi, tapi persepsi tentang kelanjutan demokrasi.
- Rocky khawatir masyarakat sipil yang menggerogoti demokrasi, bukan hanya pemerintah itu sendiri.
- Para elit dinilai euforia dan tidak belajar dari era Jokowi yang sensasinya dibatalkan sikap presiden.
SuaraJakarta.id - Memasuki satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pengamat politik Rocky Gerung menyoroti fenomena yang ia anggap lebih berbahaya daripada sekadar evaluasi prestasi atau wanprestasi pemerintah.
Menurutnya, bahaya sesungguhnya datang dari tumbuhnya kembali budaya puji-memuji di kalangan elite, yang ia sebut sebagai "gejala pemalsuan diri".
Rocky menilai, fokus evaluasi saat ini seharusnya bukan pada angka-angka kuantitatif kinerja pemerintah, melainkan pada nasib demokrasi itu sendiri.
“Sebetulnya yang mesti kita evaluasi bukan prestasi atau wanprestasi dari Presiden Prabowo setelah 1 tahun, itu bisa dilihatkan dari analisis kuantitatif,” ujar Rocky, dikutip dari kanalyoutubenya, Kamis (23/10/25).
Baca Juga:Industri Tekstil Nasional di Ujung Tanduk? Pengusaha Minta Tolong ke Purbaya
“Buat saya bukan itu yang penting, tapi kita mengevaluasi presepsi kita, atau keyakinan kita bahwa demokrasi bisa dilanjutkan atau tidak?,” imbuhnya.
Yang menjadi pusat perhatian Rocky adalah perilaku para elite yang mulai menikmati pujian dan secara terbuka memuji diri sendiri.
Ia melihat ini sebagai sebuah kultur yang kembali bangkit dan berpotensi merusak.
“Ada semacam kultur yang akhirnya Kembali, yaitu kultur puji memuji, dan beberapa tokoh (Menteri) mulai memperlihatkan kenikmatan untuk dipuji. Tampil dipublik hanya untuk mengucapkan ‘bahwa saya mampu mengubah, bahwa saya nanti akan membuktikan Indonesia Maju, Indonesia mampu bertumbuh itu dari tangan saya’,” urainya.
Bagi Rocky, klaim-klaim personal atas kemajuan bangsa ini merupakan bentuk penipuan diri yang mengaburkan masalah sebenarnya.
Baca Juga:Bocor! Isi Pertemuan Presiden Prabowo dan Jokowi, Ini Penjelasan Istana
“Jadi itu sebetulnya gejala semacam pemalsuan diri dari pada elite. Itu yang lebih bahaya dari pada kita harus menghitung – hitung apa prestasi dan wanprestasi dari rezim hari ini,” sambungnya.
Sikap euforia dan optimisme dangkal yang ditampilkan para elite, menurut Rocky, menunjukkan bahwa mereka tidak belajar dari era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana sensasi-sensasi pencitraan pada akhirnya dimentahkan oleh kebijakan yang merusak demokrasi.
“Intinya kita tidak belajar di era Presiden Jokowi bahwa seluruh sensasi itu akhirnya dibatalkan oleh sikap presiden yang merusak demokrasi,” tambahnya.
Di tengah hiruk pikuk elite yang sibuk dengan narasi keberhasilan, persoalan fundamental negara justru terungkap dari sektor lain. Ekonom Gede Sandra dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP) membongkar adanya praktik aliran dana gelap senilai Rp 1.000 triliun per tahun dari aktivitas ekspor selama satu dekade terakhir.
Praktik yang disebut *misinvoicing* ini, menurut Gede, telah merugikan negara secara masif. “Jadi setiap tahunnya ada dana gelap, ada aliran dana gelap yang tidak terbaca oleh sistem hukum, sistem pemerintahan. Seharusnya kalau 1000 Triliun itu bisa masuk ke negara dalam bentuk pajak, Bea cukai, PNBP... kita bisa dapat 100 – 160 Triliun per tahun,” urai Gede.
Temuan ini menunjukkan kontras yang tajam: di satu sisi para elite politik menampilkan euforia dan klaim keberhasilan personal, sementara di sisi lain, kebocoran ekonomi dalam skala masif terus terjadi pada komoditas utama seperti batu bara dan minyak sawit ke negara-negara seperti Tiongkok dan Singapura. Hal ini seolah mengonfirmasi kritik Rocky, bahwa fokus pada "puji-memuji" telah mengalihkan perhatian dari masalah nyata yang menggerogoti bangsa.