Darkim penyewa lahan sekaligus pengolah limbah rumah tangga itu, tampak sedang bersantai ketika ditemui di tempat pengolahan sampah. Dia bercerita, memanfaatkan lahan tersebut untuk pengolahan limbah sudah sejak 1991.
Darkim mengolah limbah rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya yang sudah berkeluarga, serta sejumlah saudaranya. Untuk memakai lahan itu, dia membayar sewa sebesar Rp 2,5 juta per bulan.
Darkim menyebut, kini kondisi sampah sudah menumpuk hingga setinggi 3 meter. Meski setiap hari dibakar, tapi sampah itu tak pernah habis lantaran terus bertambah setiap hari.
"Sampah-sampah ini diambil dari rumah warga pakai delapan gerobak. Setiap satu gerobak kapasitasnya kira-kira 1,5 kuintal lebih. Yang laku saya ambil, yang nggak laku saya bakar. Tinggi tumpukan sampah sekarang dari dasar sekira 3 meter," ungkap Darkim kepada SuaraJakarta.id, Selasa (21/9/2021).
Darkim mengklaim, meski tumpukan sampah sudah menumpuk, tapi tak pernah mengeluarkan bau lendir dari endapan sampah karena langsung meresap ke tanah.
"Air sampahnya langsung ke bawah (tanah), hilang. Nggak masuk ke kali, meresap ke bawah (tanah), karena tadinya lahan ini rawa. Luas lahannya sekira 2.000 meteran," bebernya.
Warga yang membuang sampah di lapak Darkim pun tak gratis. Setiap KK harus membayar iuran Rp 25 ribu setiap bulan. Uang iuran itu langsung dibayarkan warga ke pekerja yang berkeliling mengangkut sampah.
"Warga bayar, kalau nggak bayar mana mau capek ngambilin, Rp 25 ribu per bulan," sebutnya.
Terancam Ditutup
Baca Juga: Pemprov DKI Targetkan 2.742 RW Bisa Pilah Sampah Rumah Tangga
Saat ini, lahan sampah pengolahannya terancam ditutup lantaran adanya warga yang mengeluh ke pihak Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. Menghadapi ancaman itu, Darkim pun heran.
Pasalnya sudah 31 tahun dia mengolah limbah rumah tangga dan baru kali ini dipersoalkan bahkan diminta ditutup.
"Kalau ada keluhan dari warga, kenapa baru sekarang? Kan udah 30 tahun lebih di sini. Kita cuma bantu warga buat mengolah limbahnya di sini, lahannya juga sewa milik pribadi bukan punya pemerintah," ungkap Darkim heran.
Jika nantinya lapak miliknya harus ditutup, Darkim meminta solusi dari Pemkot Tangsel. Salah satunya dengan meminta mobil pengangkut sampah agar tetap bisa bekerja mengangkut sampah warga.
Pasalnya, hanya itu yang dianggap Darkim sebagai satu-satunya cara mencari nafkah yang dia bisa lakukan di usia senjanya.
"Kalau sampah ditutup begitu saja kasihan kita. Bagaimana anak saya, cucu saya. Wong cilik mau ke mana? Jadi solusinya kita minta mobil kecil buat pengangkut sampah," pintanya.
Berita Terkait
-
Gubernur Pramono Lanjutkan Uji Coba RDF Rorotan Meski Diprotes: Tidak Kapasitas Maksimum
-
Gubernur Bobby Nasution Teken Kesepakatan Pengelolaan Sampah Jadi Energi
-
Warga Protes Bau Tak Sedap, Pemprov DKI Hentikan Sementara Uji Coba RDF Rorotan
-
Bau Busuk RDF Rorotan Bikin Geram! Ribuan Warga Ancam Demo Balai Kota, Gubernur Turun Tangan?
-
Proyek Waste to Energy Jangan Hanya Akal-akalan dan Timbulkan Masalah Baru
Terpopuler
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Sunscreen Terbaik Harga di Bawah Rp30 Ribu agar Wajah Cerah Terlindungi
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- 24 Kode Redeem FC Mobile 4 November: Segera Klaim Hadiah Parallel Pitches, Gems, dan Emote Eksklusif
Pilihan
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
-
Bos Pajak Cium Manipulasi Ekspor Sawit Senilai Rp45,9 Triliun
-
6 Kasus Sengketa Tanah Paling Menyita Perhatian di Makassar Sepanjang 2025
-
6 HP Memori 128 GB Paling Murah Terbaru 2025 yang Cocok untuk Segala Kebutuhan
Terkini
-
Rahasia 3 Kemenangan Beruntun Persija Terungkap! Ternyata...
-
Mbak Cicha Wisuda Ribuan Lansia Dalam Program Selantang
-
Mahfud MD Bongkar Lobi Kemenkeu Saat Usut Kasus Rp 349 T: Juru Lobinya Orang Penting di DPR
-
Wanita Kehilangan Suami Lapor Polisi
-
Belajar dari Tragedi Penjarahan, Uya Kuya: Terlalu Positif Thinking Nggak Baik Juga