Scroll untuk membaca artikel
Hairul Alwan
Senin, 10 Maret 2025 | 21:40 WIB
Ilustrasi PHK Massal (Antara)

SuaraJakarta.id - Fenomena ditutupnya sejumlah pabrik yang diikuti dengan pemutusan hubungan kerja atau PHK massal mesti dipandang sebagai persoalan serius terkait iklim berusaha di Indonesia.

Pengamat hubungan internasional Zenzia Sianica Ihza menganggap Kementerian terkait harus fokus memperbaiki berbagai kendala investasi dan mendorong masuknya modal asing demi terciptanya lapangan kerja baru untuk mengatasi PHK massal.

Zenzia mengungkapkan, untuk mengatasi gelombang PHK massal, pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang dengan berbagai langkah strategis.

Mengingat fenomena PHK ini terkait dengan perlambatan sektor industri manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

Baca Juga: Jakarta Jadi Daerah Tertinggi PHK, Begini Kta Disnaker DKI

"Kita perlu kebijakan reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan," kata Zenzia dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (10/3/2025).

Pengamat hubungan internasional Zenzia Sianica Ihza. [Istimewa]

Menurut Zenzia, upaya kementerain terkait menghadapi krisis PHK ini masih kurang memadai, lambat, dan belum konsisten.

"Untuk jangka pendek pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat. Itu bisa dilakukan dengan pemberian subsidi kepada korban PHK," tuturnya.

"Kemudian menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan agar mereka bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru," imbuhnya.

Zenzia kemudian mengutip data BPS yang dirilis 5 Nov 2024 lalu, masih ada 7,47 juta orang yang menganggur dan jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring banyaknya PHK di awal 2025 ini. Bahkan, data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, level pengangguran di Indonesia menempati level tertinggi di ASEAN.

Baca Juga: Ajak Investor Emas Peduli Lingkungan, Treasury Luncurkan Green Gold

Per April 2024 lalu tingkat pengangguran kita mencapai 5,2 persen, disusul Filipina (5,1 persen), Brunei Darusallam (4,9 persen), Malaysia (3,52 persen), Vietnam (2,1 persen), Singapura (1,9 persen) dan Tahiland (1,1 persen).

"Sampai akhir Februari lalu, mereka yang terkena PHK sudah mencapai sekitar 80 ribu orang. Tak ada cara lain untuk mengatasi ini, kecuali memperbaiki kesempatan berusaha di Indonesia sehingga mampu menciptakan lapangan kerja baru," ujar Zenzia.

Meski peringkat daya saing Indonesia mengalami peningkatan, Zenzia menilai sinyal positif ini belum cukup untuk menarik investor jika tantangan lain tidak dibenahi.

"Memang kita berhasil naik dalam peringkat daya saing, tetapi faktor lain seperti stabilitas hukum, birokrasi yang berbelit, dan kebijakan yang sering berubah harus segera diperbaiki untuk mendorong lebih banyak investasi," ujarnya.

Berdasarkan laporan World Competitiveness Yearbook 2024, Indonesia berhasil naik ke posisi 44 dari 64 negara dalam hal daya saing global. Meski demikian, tantangan besar masih ada, khususnya dalam hal birokrasi dan kebijakan yang tidak konsisten.

"Negara ini masih perlu menata ulang regulasi yang sering berubah, terutama seiring pergantian pemerintahan, yang membuat investor merasa tidak memiliki kepastian untuk berinvestasi dalam jangka panjang," papar Zenzia.

Ia sepakat dengan pandangan pemerintah bahwa penutupan pabrik-pabrik besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Indonesia dan PT Yamaha Music Product Asia disebabkan oleh penurunan permintaan pasar ekspor, ketatnya persaingan global, dan strategi bisnis perusahaan yang berfokus pada efisiensi biaya.

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) turut memberi tekanan besar pada sektor manufaktur.

"Beban produksi bertambah dengan kebijakan kenaikan UMP yang terjadi setiap tahun, tanpa disertai dengan peningkatan produktivitas yang signifikan. Kenaikan UMP ini berimbas langsung pada biaya tenaga kerja yang semakin tinggi, yang kemudian menurunkan daya saing produk di pasar global," jelasnya.

Menurut Zenzia, banyak perusahaan, terutama yang bergerak di sektor manufaktur dan tekstil, merasa tertekan dengan biaya produksi yang terus membengkak, sementara di sisi lain, pasar domestik dipenuhi dengan produk impor yang lebih murah.

"Ketika UMP terus naik tanpa disertai perbaikan dalam efisiensi dan teknologi produksi, maka beban biaya akan terus meningkat. Hal ini membuat banyak perusahaan kesulitan bersaing, baik di pasar domestik maupun global," ujarnya.

Hal lain yang tak kalah krusial menyangkut jaminan keamanan bagi investor. Tanpa adanya jaminan yang jelas mengenai perlindungan hukum, investor akan ragu menanamkan modalnya.

"Keamanan investasi tidak hanya mencakup perlindungan atas aset dan hak-hak investor, tetapi juga jaminan terhadap keberlanjutan usaha yang mereka lakukan. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka hukum yang kuat dan transparan, yang mampu mengurangi risiko dan ketidakpastian bagi investor," jelasnya.

"Investor hanya akan menanamkan modal mereka dalam lingkungan yang stabil dan aman, di mana hak mereka dihormati dan dilindungi. Tanpa adanya kepastian hukum, investasi akan terhambat dan perekonomian akan kesulitan berkembang," pungkasnya.

Zenzia berpandangan, tidak hanya melindungi investor secara individu, tetapi juga mendorong peningkatan investasi asing yang pada gilirannya dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat perekonomian nasional. Selain itu, jaminan hukum juga dapat menarik investor yang mencari kestabilan untuk merencanakan investasi jangka panjang.

Load More