Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 13 September 2025 | 15:05 WIB
Sketsa wajah sosok Oey Tambah Sia. [Wikipedia]
Baca 10 detik
  • Kisah playboy Batavia abad ke-19, pewaris harta 2 juta gulden di usia belia.
  • Gemar flexing ekstrem, dari kuda mewah hingga cebok pakai uang kertas.
  • Tragis, dieksekusi gantung karena cemburu buta dan kesombongan yang tak terkendali.
[batas-kesimpulan]

SuaraJakarta.id - Hiruk pikuk kasus pamer harta atau flexing oleh keluarga pejabat dan orang kaya baru seolah tak ada habisnya, memancing amarah dan sorotan publik.

Namun, sejarah mencatat, fenomena serupa dengan akhir yang jauh lebih tragis pernah terjadi di Batavia jauh sebelum media sosial ada.

Dialah Oey Tambah Sia, cermin kelam bagaimana kesombongan dan pamer kekayaan bisa berujung pada kehancuran total.

Lahir pada 1827, Oey Tambah Sia adalah antitesis dari ayahnya, Oey Thoa, seorang Luitenant der Chinezen (Letnan Tionghoa) yang disegani.

Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menuliskan bahwa sang ayah “Berjiwa sosial dan sering memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu, namanya cukup dikenal."

Sifat mulia itu sama sekali tak menurun. Saat sang ayah wafat, Tambah Sia yang baru berusia 15 tahun kejatuhan durian runtuh: warisan 2 juta gulden.

Sebagai perbandingan, "waktu itu dengan uang sepuluh gulden saja orang sudah bisa hidup cukup." Kekayaan instan di usia muda inilah yang membentuknya menjadi sosok playboy paling legendaris sekaligus paling dibenci di Batavia.

Gaya hidup flexing-nya jauh melampaui imajinasi orang kaya zaman sekarang. Berparas tampan, ia gemar berkeliling kota menunggangi kuda terbaiknya hanya untuk memikat para wanita.

Puncak kesombongannya yang paling terkenal adalah kebiasaannya menggunakan uang kertas sebagai alat pembersih saat buang air besar di pinggir kali, yang kemudian dibuangnya begitu saja untuk diperebutkan warga miskin.

Baca Juga: 60 Orang Jadi Tersangka Serangan Polres Jakut: Ajakan di Medsos Jadi Biang Kerok

Kekayaan dan status memberinya rasa kebal hukum. Ia tak segan merebut istri orang atau memacari gadis-gadis di bawah umur, menggunakan hartanya untuk membungkam siapapun yang berani melawan.

Pola ini seakan menjadi cermin bagi kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan di era modern, di mana harta dianggap bisa membeli segalanya, termasuk keadilan.

Namun, seperti pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.

Kejatuhannya dipicu oleh api cemburu buta terhadap selirnya, Mas Ajeng Gunjing.

Ia menuduh Gunjing berselingkuh dengan kakak kandungnya sendiri, Mas Sutejo, yang datang berkunjung dari Pekalongan.

"Oey Tamba Sia lalu terbakar api cemburu melihat kedekatan Mas Sutejo dengan Gunjing," tulis Setiono.

Dibutakan amarah, ia menyewa dua pembunuh bayaran, Piun dan Sura, untuk menghabisi nyawa Sutejo.

Kejahatan ini menjadi tiket satu arah menuju tiang gantungan. Berkat laporan rivalnya dan kesaksian Mas Ajeng Gunjing sendiri, Oey Tambah Sia diseret ke pengadilan Landraad.

Semua hartanya tak mampu menyogok hukum kolonial. Permohonan grasi ditolak, dan vonis mati dijatuhkan.

Pada usia 31 tahun, Oey Tambah Sia dieksekusi gantung di halaman Stadhuis (kini Museum Fatahillah) pada 1856.

Kisahnya menjadi blaupause abadi bahwa flexing, kesombongan, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah kombinasi mematikan.

Jika dulu tiang gantungan fisik menjadi akhir yang memalukan, kini 'tiang gantungan' digital dan hukum modern siap menanti mereka yang merasa tak tersentuh hanya karena bergelimang harta.

Load More