Tiga Tahun Jadi Gubernur, PSI Anggap Anies Bikin Jakarta Makin Mundur

indikator kemunduran ini dinilai dari perbandingan dengan Gubernur sebelumnya dan potensi pencapaian Anies ke depannya.

Rizki Nurmansyah | Fakhri Fuadi Muflih
Jum'at, 16 Oktober 2020 | 21:16 WIB
Tiga Tahun Jadi Gubernur, PSI Anggap Anies Bikin Jakarta Makin Mundur
Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Suara.com/Fakhri Fuadi)

SuaraJakarta.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menempuh tiga tahun masa jabatannya hari ini, Jumat (16/10/2020).

Namun selama mengisi posisi orang nomor satu di DKI, Anies masih mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak.

Salah satunya dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta.

Tiga tahun menjabat, Anies dianggap malah membawa Jakarta semakin mundur.

Baca Juga:Fraksi Demokrat ke Anies: Kalau Mau Buat Kebijakan Ajak DPRD Ngomong

Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, Idris Ahmad mengatakan, indikator kemunduran ini dinilai dari perbandingan dengan Gubernur sebelumnya dan potensi pencapaian Anies ke depannya.

"Jika dibandingkan provinsi lainnya, DKI Jakarta memiliki anggaran yang sangat besar dan mendapatkan dukungan luar biasa dari pemerintah pusat. Jangan sampai anggaran, tenaga, dan waktu terbuang sia-sia karena keliru memilih prioritas dan salah kelola birokrasi," ujar Idris kepada wartawan, Jumat (16/10/2020).

Idris mengatakan setidaknya ada 10 kemunduran yang dibuat Anies. Berikut daftarnya:

1. Pembahasan Anggaran

Idris menyebut pembahasan APBD DKI tahun 2021 sudah terlambat tiga bulan lamanya. Artinya, waktu yang tersisa sampai draf anggaran yang diajukan hanya 1,5 bulan.

Baca Juga:3 Tahun Kepemimpinan Anies, Nasdem Sorot 4 Janji Kampanye Belum Terealisasi

Terlebih lagi, situasi Jakarta sekarang ini sedang dilanda pandemi corona.

Puluhan ribu mata anggaran berpotensi tak terbahas secara rinci jika dilaksanakan terburu-buru.

2. Transparansi Anggaran

Sejak 2017, Pemprov DKI telah memulai tradisi yang baik dengan membuka rancangan anggaran hingga tingkat rincian harga komponen anggaran melalui website apbd.jakarta.go.id sejak fase RKPD.

Namun, pada masa Gubernur Anies, dokumen anggaran hanya dibuka setelah Gubernur dan DPRD selesai melakukan pembahasan dan bersepakat.

Artinya, warga hanya mengetahui anggaran setelah selesai dibahas, sehingga tidak memiliki ruang untuk menyampaikan saran dan masukan.

Selain itu, sekitar 4 bulan yang lalu Pemprov DKI mematikan website dashboard.bpkd.jakarta.go.id dengan alasan sedang maintenance.

Melalui website ini warga bisa memantau realisasi anggaran tiap dinas secara real time.

Artinya, karena website ini ditutup, maka kebocoran anggaran akan semakin susah terdeteksi oleh publik.

3. Nasib Dana Commitment Fee Formula E

Pemprov DKI telah menyetorkan uang commitment fee Rp 360 miliar dan Rp 200 miliar kepada panitia Formula E.

Sementara, penyelenggaraan Formula E tahun 2020 dibatalkan, sedangkan untuk 2021 serba tidak pasti.

Namun demikian, belum terlihat kesungguhan niat dari Gubernur Anies untuk mengembalikan uang Rp 560 miliar tersebut.

Tindakan itu kontras dengan pemotongan tunjangan PNS tahun 2020 sebesar 50 persen karena defisit anggaran.

4. Prioritas Anggaran Tidak Jelas

Pada APBD 2020, contoh buruknya prioritas anggaran di Pemprov DKI bisa dilihat pada besarnya anggaran event yang mencapai Rp 1,5 triliun, termasuk Formula E Rp 1,2 triliun.

Bahkan, demi Formula E, Anies memotong anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing sebesar Rp 455,4 miliar dan Rp 320,5 miliar.

Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur air bersih.

Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD.

Selain itu, di dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggunakan pinjaman dari Kementerian Keuangan, tidak ada pula kegiatan pembangunan normalisasi sungai, tanggul pantai, LRT, dan air bersih. Padahal kegiatan-kegiatan ini sangat dibutuhkan warga Jakarta.

5. Normalisasi Sungai Mandek 3 Tahun

Program normalisasi sungai direncanakan sepanjang 33 kilometer (km). Hingga 2017, sudah dilakukan normalisasi sungai sepanjang 16 km.

Akan tetapi, dari 2018 hingga 2020 tidak ada kegiatan normalisasi sungai.

Pada tahun 2020 telah dilakukan pembebasan lahan saluran air 8,2 km.

Namun demikian, tidak jelas apakah pada 2021 telah dialokasikan anggaran normalisasi sungai pada lahan 8,2 km tersebut.

6. Realisasi Naturalisasi Sungai 0 Persen

Di berbagai kesempatan, misalnya saat rapat pembahasan penanganan banjir bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang pada 7 Juli 2020, Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti mengganti dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem.

Di sisi lain, di akun Instagram pada 26 September 2020, Gubernur Anies memamerkan hasil naturalisasi sungai di Kanal Banjir Barat (KBB) segmen Sudirman-Karet.

Namun, proyek ini berbeda dengan konsep yang dipaparkan oleh Gubernur Anies.

Pasalnya, proyek di KBB tersebut berupa perkerasan beton untuk tempat nongkrong dan spot selfie.

Sama sekali tidak ditemukan aspek pencegahan banjir dan perlindungan ekosistem di situ.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa progres naturalisasi sungai masih 0 persen. PSI berharap agar Gubernur Anies untuk bersikap jujur dalam menyampaikan informasi kepada publik.

7. Realisasi Program Rumah DP 0 Rupiah

Saat awal menjabat, Gubernur Anies menargetkan penyediaan 300.000 rumah selama 5 tahun atau 60.000 rumah per tahun.

Namun, 3 tahun berselang hanya tersedia 780 rumah atau hanya 0,26 persen dari target.

Dari angka tersebut, jumlah yang dihuni hanya 278 unit.

PSI mempertanyakan apakah Gubernur Anies benar-benar memiliki kemauan untuk menjalankan program DP 0 Rupiah.

8. Pembangunan LRT Fase 2

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), pembangunan LRT direncanakan sekitar 110 kilometer yang terbagi dalam 7 rute.

Di masa Anies, pembangunan LRT fase 2 tidak kunjung dimulai.

Padahal, bisa dilihat bahwa proyek ini memiliki dasar hukum yang kuat dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda.

Dengan demikian, PSI mempertanyakan komitmen Gubernur Anies untuk menyediakan transportasi massal berbasis rel di Jakarta.

9. Penyusunan Perda-Perda Tata Ruang Mandek

Daftar Perda tata ruang yang harus dibahas adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Selama 3 tahun, Gubernur Anies tidak menyerahkan rancangan perda-perda tersebut.

Akibat dari mandeknya pembahasan perda-perda ini adalah mengganggu pengembangan Jakarta dan akan berdampak pada perizinan.

Salah satu akibat dari mandeknya penyusunan peraturan daerah (perda) ini adalah pada Juni 2019 Gubernur Anies menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 1.000 lebih bangunan di Pulau C dan D hanya memakai Peraturan Gubernur (Pergub) no. 206 tahun 2016, padahal seharusnya izin tersebut diperkuat dengan perda tata ruang yang semestinya sudah selesai dibahas.

10. Kontrak Aetra dan Palyja

Pada tanggal 10 April 2017 keluar putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31K/Pdt/2017 yang memerintahkan pengembalian pengelolaan air bersih dari pihak swasta (Aetra dan Palyja) kepada pemerintah (Pemprov DKI Jakarta).

Salah satu persiapan yang paling penting adalah inventarisasi aset yang dikuasai pihak swasta yang bertujuan untuk mencegah hilangnya aset milik Pemprov DKI.

Sayangnya, baik Pemprov DKI maupun PAM Jaya belum melakukan inventarisasi aset, padahal waktu semakin dekat.

PSI mendesak agar Gubernur Anies segera melakukan inventarisasi aset air bersih di Jakarta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini