Keutamaan Itikaf Saat Ramadhan, Sunnah yang Tak Pernah Ditinggal Rasulullah

"Aisyah RA bercerita bahwa: Nabi SAW (selalu) beritikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau (HR Bukhori & Muslim).

Rizki Nurmansyah
Kamis, 06 Mei 2021 | 20:58 WIB
Keutamaan Itikaf Saat Ramadhan, Sunnah yang Tak Pernah Ditinggal Rasulullah
Suasana Itikaf di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (25/5). [Suara.com/foto]

SuaraJakarta.id - Itikaf di bulan Ramadhan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah melakukan pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Karena di momen itu Allah SWT menurunkan malam mulianya yakni Lailatul Qadar.

"Tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang sangat galak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika masuk 10 terakhir Ramadan ialah beritikaf," kata Ustaz Ahmad Zarkasih dalam bukunya "Meraih Lailalatul Qadr Haruskah Itikaf".

Ustaz Ahmad menerangkan, itikaf yaitu berdiam diri di masjid dengan segala kegiatan ibadah.

Baca Juga:Salat Tarawih di Masjid Agung Kota Solo yang Satukan Dua Mazhab

Namun kaitannya dengan malam Lailatul Qadar itu bukanlah kaitan syarat dengan yang disyarati. Itikaf bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qodar.

"Tapi jika mampu beritikaf mengapa tidak? Karena itu ialah sunnah yang sangat besar pahalanya," katanya dikutip dari Ayobandung.com—jaringan Suara.com—Kamis (6/5/2021).

Bahkan, kata Ustaz Ahmad, Itikaf merupakan sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW selama 10 terakhir Ramadhan sepanjang hidup beliau.

"Aisyah RA bercerita bahwa: “Nabi SAW (selalu) beritikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau” (HR Bukhori & Muslim).

Tapi sesungguhnya, malam Lailatul Qodar tidaklah dikhususkan untuk mereka yang beritikaf saja.

Baca Juga:Pengantin Baru saat Ramadhan, Wanita Ini Masuk Angin karena Mandi Subuh

Tapi siapapun yang ketika malam itu menghidupkan malamnya dengan ibadah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan di atas.

"Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qodar dengan Iman dan Ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau” (HR Bukhori)."

Bagi mereka yang harus masih bekerja di malam hari, ia terhalang untuk bisa beri’tikaf. Juga bagi wanita yang tidak bisa beri’tikaf karena mendapatkan dirinya delam keadaan tidak suci dan mereka-mereka ini masih punya kesempatan juga untuk mendapatkan kemualian malam lailatul Qodr.

"Dan I’tikaf itu sendiri bukanlah suatu kewajiban," katanya.

Hanya saja kata Ustaz Ahmad, memang dengan beritikaf, kesempatan untuk terus beribadah sangatlah terbuka lebar.

Orang yang itikaf bagaimanapun keadaannya di masjid, ia tetap terhitung sebagai orang yang beritikaf dan tentu saja itu dalam ibadah, walaupun ia tidur.

Dan keinginan untuk beribadah sangatlah besar ketika seseorang itu berada dalam masjid, karena termotivasi oleh saudara-sausdaranya yang sedang beri’tikaf juga. Tetapi bagi yang tidak beritikaf, ia tidak bisa disebut dalam ibadah.

"Ibadahnya di rumah tentu tidak bisa disamakan dengan ibadahnya orang yang beritikaf, karena ia mendapatkan pahala lebih dari ritual I’tikafnya tersebut," katanya.

Ustaz Ahmad mengatakan, semangat beribadah ketika berada dalam rumah tentu tidak sebesar ketika kita beritikaf di masjid. Di rumah kita bisa saja berpaling dari ibadah ke kegiatan lain dengan sangat mudah.

Sekitar kita ada ponsel, laptop yang bisa kita nyalakan kapan saja, remote control telivisi yang bisa kita pencet tombolnya untuk menonton. Sehingg, focus ibadahnya pun menjadi buyar, karena banyak gangguannya.

"Dan itu berbeda jika kita berada dalam masjid ketika Itikaf," katanya.

Orang yang beritikaf, karena kedekatannya dengan ibadah di malam itu. Maka kedeketannya untuk mendapatkan malam Lailatul Qodar pun menjadi sangat terbuka lebar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini