Kisah Korban Bom Thamrin 2016, Memaafkan Pelaku Walaupun Susah

Fisiknya jauh menurun setelah jadi korban ledakan bom Thamrin 2016 silam, meski secara psikis Dina sudah jauh lebih baik.

Rizki Nurmansyah
Kamis, 27 Mei 2021 | 16:35 WIB
Kisah Korban Bom Thamrin 2016, Memaafkan Pelaku Walaupun Susah
Peringatan satu tahun Tragedi Bom Thamrin 14 Januari 2016, di Pos Polisi Perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1).

"Ternyata sudah banyak serpihan kaca. Jadi saya berada di atas serpihan kaca seperti berenang. Ledakan yang saya tahu ada dua kali," kata dia.

Setelah berada di luar, Dina mengaku tidak merasa kesakitan. Padahal, tubuhnya telah dipenuhi dengan darah.

Semua itu baru Dina ketahui setelah ada warga yang menegur dan ingin menolongnya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan medis.

Dina mengalami luka yang cukup serius. Pundak sebelah kirinya harus dijahit agar tidak terus mengeluarkan darah akibat tersayat sepihan kaca.

Baca Juga:Kisah Korban Bom Teroris Jakarta dan Surabaya : Marah dan Luka, Tapi Mau Memaafkan

Kaki dan tangannya juga ikut luka. Belum lagi telinga sebelah kiri Dina yang sudah tidak normal karena pendengarannya menurun.

Selama dirawat, Dina sempat ingin dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan yang lebih mumpuni. Namun, dia menolaknya.

"Saya mau dirujuk tapi saya bersikeras untuk pulang ke rumah. Karena saya pikir tempat yang paling aman itu di rumah," ujar Dina.

Peringatan satu tahun Tragedi Bom Thamrin 14 Januari 2016, di Pos Polisi Perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1).
Peringatan satu tahun Tragedi Bom Thamrin 14 Januari 2016, di Pos Polisi Perempatan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1).

Untuk mengobati rasa traumanya, Dina dibantu oleh dokter psikiater dengan cara berobat jalan. Setiap hari Dina harus rutin mengkonsumsi berbagai macam obat penenang.

Penyebabnya, karena rasa trauma yang dialami membuat Dina sulit tidur dengan nyenyak selama tiga bulan lamanya.

Baca Juga:Bali Jadi Kota Mati, Pandemi Covid-19 Lebih Dahsyat dari Bom Bali

"Harus minum empat macam obat penenang. Setiap malam, kerja saya cuma teriak. Ketakutan karena trauma," jelas Dina.

"Bagaimana menghadapi trauma? Saya dibantu psikiater atau psikolog karena psikis saya yang betul-betul dihajar. Psikiater bilang proses pengobatan saya cukup cepat karena cuma delapan bulan dan akhirnya saya berhenti minum obat," katanya.

Biaya rumah sakit diberikan secara gratis selama Dina berobat. Selain itu, Dina juga mendapatkan kompensasi. Semua ini diberikan pemerintah kepada para korban ledakan bom.

"Negara juga memperhatikan. Dengan biaya kompensasi dan rumah sakit," tutur Dina.

Dina mengaku merasa marah dan kesal dengan pelaku teroris tersebut yang telah membuat dirinya menderita. Namun, dia juga menyalahkan dirinya karena datang ke tempat itu saat bom diledakkan.

Dimasa-masa sulit itulah Dina pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri akibat musibah yang menimpanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak