1. Status kerja tidak pasti
Pekerja outsourcing umumnya hanya terikat kontrak jangka pendek. Hal ini membuat mereka selalu dalam posisi tidak aman—khawatir kapan pun bisa diberhentikan tanpa alasan yang jelas.
2. Upah dan tunjangan lebih rendah
Banyak laporan menunjukkan bahwa pekerja outsourcing mendapat upah yang lebih rendah dibanding karyawan tetap di posisi serupa.
Baca Juga:Buruh Bangunan Tewas Tertimpa Tembok di Koja Jakarta Utara
Selain itu, hak atas tunjangan, cuti, dan jaminan sosial pun sering diabaikan atau tidak optimal.
3. Kesulitan berserikat
Karena tidak bekerja langsung di perusahaan utama, buruh outsourcing kerap kesulitan membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja.
Hal ini membuat mereka lebih sulit memperjuangkan haknya.
4. Tidak ada jenjang karier
Baca Juga:Ikuti Instruksi Prabowo, PAM Jaya Gandeng Lemhanas RI Demi Ketahanan Air
Pekerja outsourcing biasanya tidak mendapat peluang pengembangan karier di perusahaan utama.
Meskipun sudah lama bekerja dan menunjukkan kinerja baik, mereka tetap berada di posisi itu-itu saja, karena bukan bagian dari struktur internal perusahaan.
5. Rasa tidak dihargai
Banyak buruh merasa diperlakukan sebagai 'pekerja kelas dua'. Padahal mereka ikut berkontribusi dalam operasional harian perusahaan.
Namun karena statusnya berbeda, mereka kerap tidak mendapat perlakuan yang sama.
Outsourcing memang bisa membantu efisiensi perusahaan, tapi di sisi lain, sistem ini membuka celah ketidakadilan bagi pekerja.