- Gagasan Jembatan Cincin Donat berawal dari keresahan Gubernur Daerah Khusus (DK) Jakarta
- Dukuh Atas merupakan simpul utama ekosistem mobilitas Jakarta
- Infrastruktur tersebut diharapkan dapat mengurai kepadatan
SuaraJakarta.id - Untuk meningkatkan keterpaduan transportasi publik dan mengembangkan kawasan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD), MRT Jakarta akan menghadirkan Jembatan Cincin Donat di kawasan Dukuh Atas, salah satu titik sentral mobilitas warga Jakarta.
Jembatan ini nantinya akan menghubungkan empat moda transportasi umum yaitu MRT Jakarta, LRT Jabodebek, KRL Commuter Line, dan kereta bandara.
Direktur MRT Jakarta, Tuhiyat, menjelaskan, gagasan Jembatan Cincin Donat berawal dari keresahan Gubernur Daerah Khusus (DK) Jakarta tentang belum optimalnya potensi kawasan Dukuh Atas sebagai simpul transportasi.
Terinspirasi dari Kota Yokohama, Jepang yang berhasil menggabungkan konektivitas dan ruang public, MRT Jakarta kemudian merancang jembatan ini sebagai ikon integrasi transportasi dan aktivitas warga di atas jalur transit.
Baca Juga:Detik-Detik Pelajar Tenggelam di Kali Cengkareng: Warga Sempat Ulurkan Bambu Penyelamat
“Kami tawarkan ide ini kepada Pemprov Jakarta setelah melakukan benchmarking ke Yokohama. Nantinya akan dibangun di Jalan Sudirman, Dukuh Atas, dengan lebar 12 meter, tujuh meter untuk lalu lintas publik dan lima meternya untuk kawasan bisnis,” ujar Tuhiyat.
Dukuh Atas merupakan simpul utama ekosistem mobilitas Jakarta, tempat bertemunya empat moda transportasi publik sekaligus kawasan perkantoran padat.
Berdasarkan penelitian ResearchGate (2023), volume kendaraan di koridor Jalan Jenderal Sudirman mencapai sekitar 6.643 pcu/jam pada arah utara di jam sibuk pagi, dan 5.244 pcu/jam pada arah selatan di sore hari.
Sebagai gambaran, 1 PCU (Passenger Car Unit) atau Satuan Mobil Penumpang digunakan untuk menyetarakan berbagai jenis kendaraan mulai dari mobil, motor, hingga bus menjadi satu ukuran lalu lintas.
Artinya, angka tersebut setara dengan lebih dari 6.000 mobil pribadi yang melintas setiap jam, menandakan tingginya beban lalu lintas di koridor Sudirman–Dukuh Atas.
Baca Juga:Ribuan Massa Padati Aksi Bela Palestina di Jakarta
Menurut Tuhiyat, kondisi tersebut juga turut menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi pembangunan Jembatan Cincin Donat.
Infrastruktur tersebut diharapkan dapat mengurai kepadatan dengan mempermudah konektivitas antarmoda melalui jalur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan efisien.
“Dukuh Atas ini nanti bisa mengurai kemacetan di Jl. Sudirman, jadi Dukuh Atas ini bukan hanya titik transit, tapi ruang publik baru yang nyaman bagi semua pengguna transportasi,” tambahnya.
Lebih dari sekadar penghubung fisik, jembatan ini juga menjadi bagian dari transformasi habit mobilitas warga Jakarta, dari penggunaan kendaraan pribadi menuju transportasi publik.
Dengan akses yang terintegrasi dan ruang publik yang hidup, proyek ini diharapkan mampu mengurangi beban lalu lintas sekaligus mengubah wajah kawasan Sudirman - Dukuh Atas menjadi pusat kehidupan urban yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Jembatan Cincin Donat ini direncanakan rampung pada tahun 2027 mendatang.
Bisakah Jembatan Cincin Donat ubah pola mobilitas warga?
Perubahan budaya mobilitas tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh perlahan, seiring upaya pembangunan infrastruktur dan edukasi publik yang saling terhubung untuk membentuk cara baru pergerakan masyarakat kota.
Data Dinas Perhubungan DK Jakarta mencatat penggunaan transportasi umum pada tahun 2018 baru mencapai 18 persen dan naik menjadi 22,19 persen pada tahun 2025.
Dengan total pergerakan warga mencapai 20,2 juta orang per hari.
Kepala Dinas Perhubungan DK Jakarta, Syafrin Liputo menjelaskan, butuh tujuh tahun bagi Jakarta untuk menaikkan penggunaan transportasi publik sekitar empat persen.
“Ini bukan pekerjaan mudah, karena yang kita coba ubah adalah kebiasaan orang” kata Syafrin.
Ia menambahkan, peningkatan tersebut tak lepas dari upaya konsisten pemerintah yang tak hanya memperkuat integrasi antarmoda, tapi juga meningkatkan kenyamanan publik melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No. 2 Tahun 2024
“Layanannya kita perluas dan menyeluruh, mulai dari infrastruktur, layanan, rute hingga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), tarif, dan sistem pembayaran. Semua sama, headway lima menit di jam sibuk, sepuluh menit di luar jam sibuk” jelasnya.
Jembatan Cincin Donat diproyeksikan mampu menjadi salah satu strategi meningkatkan angka pengguna transportasi umum di Jakarta.
Pengamat Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Soni Sulaksono menilai pembangunan Jembatan Cincin Donat bukan hanya soal infrastruktur, melainkan bagian dari edukasi publik untuk membiasakan masyarakat berpindah moda dan menjangkau aktivitas harian dengan transportasi umum.
“Ini (Jembatan Cincin Donat) menjadi edukasi penting buat masyarakat bahwa menuju titik-titik aktivitas menggunakan transit ternyata mudah dan tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi” jelas Soni.
Soni juga menekankan pentingnya desain kawasan yang tidak menyediakan lahan parkir kendaraan pribadi di sekitar Jembatan Cincin Donat. Menurutnya, ketiadaan lahan parkir dapat menjadi strategi efektif untuk mengubah kebiasaan masyarakat agar bergantung pada transportasi publik, bukan mobil pribadi.
“Kalau di sekitar jembatan disiapkan parkir, orang tetap akan bawa mobil. Tapi kalau tidak ada, mau tidak mau mereka naik MRT, LRT, atau KRL. Jadi infrastruktur ini bukan hanya soal bentuk, tapi cara mendidik warga kota agar disiplin dalam mobilitas” tambahnya.
Langkah kaki jadi awal mobilitas
Jepang bisa menjadi contoh bahwa mobilitas bukan sekedar perpindahan dari satu titik ke titik lain, melainkan bagian dari cara hidup yang tertata.
Di Kota Yokohama misalnya, koneksi antara Minato Mirai Line dan jaringan jalur bawah tanahnya membuat warga dapat berpindah dari gedung perkantoran Queen's Tower menuju kawasan tepi laut Red Brick Warehouse hingga Stasiun Minatomirai tanpa harus keluar gedung atau menyeberang jalan raya.
Jalur pedestrian yang lebar dan teduh membentang di atas dan bawah tanah, menghubungkan langsung ke stasiun, pusat perbelanjaan seperti Landmark Plaza, hingga taman kota di tepi teluk.
Menurut Japan Transport Planning Association (2023), sebanyak 68 persen pengguna transportasi umum di Yokohama mengakses stasiun dengan berjalan kaki.
Hal serupa juga terjadi di negara tetangga terdekat Indonesia, yaitu Singapura yang memiliki akses pejalan kaki menuju ke stasiun-stasiun yang mencapai sekitar 90 persen.
Citra serupa mulai tampak di Jakarta. Di Blok M, misalnya, penumpang MRT dapat berpindah ke TransJakarta atau berjalan kaki menuju area komersial hanya dalam hitungan menit tanpa harus menyeberang jalan raya.
Sementara di Dukuh Atas, jalur pedestrian yang terhubung antara MRT, LRT, dan KRL telah menjadi embrio bagi konsep kota yang mendorong warga bergerak tanpa kendaraan pribadi.
Melalui Jembatan Cincin Donat, Jakarta mencoba melangkah lebih jauh, bukan hanya sekedar menghubungkan moda, tetapi juga menata ulang kebiasaan.
Infrastruktur ini diharapkan tidak sekadar mengurai kemacetan, tetapi juga membentuk kesadaran baru bahwa berjalan kaki dan menggunakan transportasi publik adalah bagian dari kehidupan kota yang modern dan beradab.
Keberhasilan Jembatan Cincin Donat bukan hanya diukur dari kemegahan arsitekturnya, melainkan dari bagaimana infrastruktur ini mampu membangun kebiasaan baru warga kota.
Pemerintah, kata Soni, perlu berani menetapkan radius pejalan kaki sejauh satu kilometer di sekitar kawasan tersebut dan memastikan koneksi antara MRT, LRT, dan KRL benar-benar nyaman.
“Kalau Jakarta mau maju seperti kota-kota di Asia Timur, habit itu harus dipaksa. Dipaksa untuk naik transit, bukan mobil. Dan ini bisa dimulai dari Dukuh Atas,” ujarnya.
Pada akhirnya, transformasi mobilitas bukan sekadar persoalan membangun jalan atau moda baru, melainkan upaya menata ulang budaya gerak sebuah kota.
Selama kemudahan masih dimaknai sebagai kemampuan berkendara tanpa henti, perubahan akan selalu tertinggal di belakang kemacetan.
Namun, melalui ruang-ruang transit yang menghargai langkah kaki, kota perlahan belajar bernafas dengan ritme yang lebih manusiawi.
Sebab kemajuan sebuah kota tidak diukur dari seberapa cepat kendaraan melaju, melainkan dari seberapa selaras warganya bergerak bersama.