Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Minggu, 20 Juni 2021 | 08:15 WIB
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (5/5).

SuaraJakarta.id - Asal usul kepala naga Jakarta Utara, kawasan paling hoki di Indonesia. Kepala naga merupakan sebuah filosofi yang mengakar di kepala warga Jakarta dan pebisnis nusantara. Kawasan ini dianggap paling prospektif dalam berbisnis, bahkan kawasan hunian elite.

Menurut pemahaman feng shui daerah kepala naga sendiri dipercaya sebagai daerah yang mendatangkan keberuntungan sesuai dengan simbol dari naga yang menurut kepercayaan orang Tionghoa membawa rezeki. Meskipun rawan dengan banjir kawasan Jakarta Utara tetap banyak diminati oleh para investor untuk membuka usahanya di sana.

Perkembangan ekonomi di Jakarta sendiri diawali dari Jakarta Barat yang kemudian berkembang ke kawasan Utara Jakarta karena terdapat pelabuhan di kawasan tersebut.

Menurut ilmu feng shui, Jakarta dilintasi 13 sungai diketahui termasuk elemen energi naga sungai. Energi bumi sendiri dibagi menjadi tiga yakni naga gunung, naga sungai dan naga dataran datar.

Baca Juga: Melonjak, TPU Rorotan Jakarta Utara Terisi 400 Makam Pasien Covid-19

Kawasan-kawasan yang terletak di bagian kepala naga itulah yang banyak membawa hoki, kepala naga sendiri terbagi menjadi dua yaitu kepala naga utama dan kepala naga kecil.

Foto pengerjaan proyek light rail transit yang akan jadi penunjang Asian Games 2018, di Depo LRT Koridor Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu (10/3/2018). [Suara.com/Nikolaus Tolen]

Semakin maksimal dalam menyerap energi dari naga sungai, hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat ceruk atau kawasan yang dapat menahan aliran air agar tidak dapat langsung mengalir ke laut, hal ini dapat dilihat dengan pembangunan Pantai Mutiara

Terdapat beberapa wilayah-wilayah Kepala Naga di Jakarta antara lain Tanjung Priok, Sunda Kelapa, Hayam Wuruk, Kota Tua, Sudirman, Thamrin, Glodok, dan termasuk di wilayah Kelapa Gading.

Adanya pemahaman Fengshui dalam menentukan letak bisnis ataupun interior yang melambangkan keharmonisan alam bersatu dengan lingkungan ini, telah berkembang lama di Indonesia.

Hal ini tidak terlepas dari banyaknya Tionghoa yang diperkirakan telah mendiami Jakarta jauh sebelum masa kolonial sehingga tidak mengherankan bahwa masyarakat Tionghoa juga turut berkontribusi dan memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Baca Juga: Potret Toleransi, Rumah Adat Tionghoa Bakal Dibangun di Kubu Raya

Suasana pembangunan Pelabuhan Kalibaru atau yang disebut Terminal New Priok di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (2/8). [Antara/Andika Wahyu]

Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia saat ini merupakan keturunan dari orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia menurut catatan sejarah, awal mula kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM - 220 M).

Di mana masa itu Tiongkok telah membuka perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, dan sebelum tahun-tahun tersebut telah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa pada masa Dinasti Tang yang mayoritas berasal dari Provinsi Fujian dan Guangdong di bagian Cina selatan.

Pada masa dinasti Tang, daerah tersebut cukup strategis untuk berdagang dan timbul keinginan bagi para pedagang-pedagang tersebut memperluas kolega perdagangan mereka dan dimulailah pelayaran.

Pelayaran yang dilakukan orang-orang ini sangat bergantung kepada arah angin sehingga, sempat dan sering singgah kemudian menetap di wilayah laut Cina Selatan, salah satunya meupakan kepulauan Nusantara (Republik Indonesia) sekitar abad ke-4 hingga ke-7.

Pembangunan Pelabuhan Kalibaru atau New Priok di Jakarta Utara, Selasa (2/9). Pelindo II menargetkan pembangunan pelabuhan New Tanjung Priok tahap I dapat beroperasi pada kuartal III 2015 dengan kapasitas daya tampung sebesar 1,5 juta TEUs sehingga nantinya dapat mengurangi waktu bongkar muat kapal. [Antara/Wahyu Putro A]

Kemudian pada abad ke-9, ketika tentara pemberontakan pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong ke Sriwijaya.

Pada dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke Nusantara.

Load More