Muhammad Yunus
Selasa, 15 Juli 2025 | 21:45 WIB
Foto udara pemandangan di Kota Jakarta, Senin (18/9/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraJakarta.id - Menyongsong usianya yang akan memasuki lima abad, Jakarta berada di persimpangan jalan krusial. Visi untuk menjadi kota global yang kompetitif dan berbasis teknologi (smart city) terus digelorakan.

Namun, sebuah seminar penting mengingatkan bahwa lompatan ke masa depan tidak boleh mengorbankan akar sejarah dan nilai kemanusiaan yang menjadi jiwa kota ini.

Dalam seminar bertema “Membaca Ulang Jakarta: Dari Visi Founding Parents Hingga Kota Smart City” yang digelar oleh Yayasan Sanjeev Lentera Indonesia bersama Perhimpunan Alumni Universitas Katolik Atma Jaya (Perluni UAJ), Senin (14/7/2025).

Terungkap sebuah benang merah: kemajuan teknologi dan pembangunan fisik harus berjalan seimbang dengan pembangunan manusia dan penguatan budaya.

Mewakili Gubernur DKI Jakarta, Wakil Kepala Bappeda, Deftrianov, memaparkan target ambisius pemerintah untuk membawa Jakarta masuk dalam 20 besar kota global.

Visi ini mencakup lima pilar, mulai dari pusat ekonomi inovatif, manajemen kota modern, hingga ruang kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Namun, visi teknokratis ini segera diperkaya dengan perspektif historis. Staf Khusus Gubernur, Chiko Hakim, menegaskan bahwa Jakarta sejatinya terlahir sebagai kota global.

"Jakarta telah menjadi kota global sejak lahirnya, tempat kumpul banyak bangsa dan budaya. Jakarta tidak memiliki raja, jadi pergaulannya egaliter dan setara," ujarnya.

Menurut Chiko, tantangan saat ini adalah menaikkan peringkat Jakarta di kancah global melalui inovasi kebijakan yang responsif terhadap aspirasi publik dan perkembangan teknologi.

Baca Juga: Rekomendasi Bengkel Mobil Terbaik di Jakarta untuk Mobil Bekas

Suara Kritis: Kota Global yang Manusiawi dan Berakar

Gagasan untuk tidak hanya mengejar status, tetapi juga membangun kualitas, menjadi sorotan utama.

Anggota DPRD DKI Jakarta, Rio Dwi Sambodo, mengingatkan kembali pada visi Bung Karno yang mengimpikan Jakarta sebagai representasi karakter bangsa (nation character building).

"Ini seperti 'peta lawas untuk jalan baru'," kata Rio. Ia menekankan bahwa Jakarta perlu menjadi kota global yang tetap manusiawi, kontekstual, dan berakar. "Jakarta bukan hanya soal berdaya saing, karena ini menimbulkan pertanyaan: bersaing dengan apa dan untuk siapa? Kota global juga harus berkeadilan," tegasnya.

Pandangan ini diamini oleh Prof. Sylviana Murni. Cendekiawan Betawi ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara pembangunan fisik dan manusia.

Menurutnya, kehebatan sebuah kota tidak diukur dari gedung pencakar langitnya, tetapi dari kualitas relasi antarmanusia di dalamnya.

Load More