Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 19 September 2025 | 14:50 WIB
Ketua KPU Mochammad Afifuddin sampaikan soal pencabutan aturan KPU nomor 731 tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan KPU. [Suara.com/Faqih]
Baca 10 detik
  • Gus Nur heran dengan aturan KPU soal keterbukaan informasi untuk calon presiden dan calon wakil presiden
  • Sebut KPU Termul 
  • KPU Minta maaf dan batalkan aturan 

“Ini sejak ada presiden ke 7 ini. Ini dampak kerusakan revolution mental ini. Sampai kapan nanti? Sampai anak cucu kita nanti,” ungkapnya.

Dalam kritiknya, Gus Nur juga secara eksplisit menyentil usaha Presiden Jokowi untuk menjadikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden.

Ia mengecam tindakan tersebut sebagai contoh nyata dari kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan banyak pihak.

“Peradabannya rusak, tata kramanya rusak, korupsi dimana – mana, nepotis dimana – mana, kolusi dimana – mana,” Ungkapnya.

Ia tak segan menyebut tindakan tersebut sebagai "maling" atau penipuan, terutama terkait dugaan perubahan undang-undang demi memenuhi syarat usia.

“Anakmu belum pantas jadi presiden, anakmu belum pantas jadi pejabat, belum cukup umur, iya sudah ubah undang – undangnya supaya umurnya cukup. Kan maling ini Namanya, otak – otak maling. Nah yang model – model begini ini yang mau ditutupi oleh KPU dari publik,” sambungnya.

Menyusul gelombang protes dan sorotan publik yang intens, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, akhirnya menyampaikan permohonan maaf dan memutuskan untuk membatalkan aturan kontroversial tersebut.

“Kami dari KPU mohon maaf atas situasi keriuhan yang sama sekali tidak ada pretensi sedikit pun di KPU untuk melakukan hal – hal yang dianggap menguntungkan pihak – pihak tertentu,” ujar Afifuddin.

Meskipun demikian, permintaan maaf ini sulit meredakan kecurigaan yang telah terlanjur muncul.

Baca Juga: Biar Warga Bisa Mengawasi, KPU Jakarta Siapkan Buku Janji Kampanye Pramono Anung-Rano Karno

Afifuddin menjelaskan bahwa KPU telah berkoordinasi dengan Komisi Informasi Pusat (KIP) dan mendasarkan aturan pada Peraturan KPU, Undang-Undang Pemilu, serta Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 terkait Perlindungan Data Pribadi.

Namun, penjelasan ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa interpretasi hukum tersebut baru direvisi setelah adanya tekanan publik yang masif.

Apresiasi KPU terhadap partisipasi masyarakat di media sosial, meski disampaikan, tidak serta merta menghapus kesan bahwa keputusan awal dibuat tanpa mempertimbangkan semangat keterbukaan dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.

Kejadian ini menjadi pengingat penting akan perlunya kewaspadaan publik terhadap setiap kebijakan yang berpotensi merongrong prinsip-prinsip dasar demokrasi dan transparansi.

Kontributor : Kanita

Load More