Ombudsman Temukan Maladministrasi Polisi Pasca Demo Ricuh UU Cipta Kerja

Ada 2 hal yang diduga jadi maladminstrasi

Pebriansyah Ariefana
Rabu, 21 Oktober 2020 | 13:52 WIB
Ombudsman Temukan Maladministrasi Polisi Pasca Demo Ricuh UU Cipta Kerja
Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membakar ban saat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJakarta.id - Ombudsman Jakarta atau Perwakilan Jakarta Raya menemukan dugaan maladministrasi dilakukan oleh Polda Metro Jaya dalam penanganan pascademonstrasi terkait penolakan UU Cipta Kerja. Ada 2 hal yang diduga jadi maladminstrasi

Pertama polisi tidak memberikan akses kepada penasehat hukum dan melampaui kewenangan ketika tidak akan memberikan SKCK kepada pelajar yang ikut demo.

"Ada dua dugaan, tidak memberikan akses kepada penasehat hukum dan melampaui kewenangan ketika tidak akan memberikan SKCK kepada pelajar yang ikut demo," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (21/10/2020).

Sejak 8 Oktober 2020 Ombudsman Perwakilan Jakarta telah melakukan pemantauan di Polda Metro Jaya.

Baca Juga:Dapat Salinan UU Cipta Kerja Dari Jokowi, Forum Rektor Akan Kaji Ulang

Massa aksi membawa bendera Merah Putih menaiki Patung Kuda saat melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Massa aksi membawa bendera Merah Putih menaiki Patung Kuda saat melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Hingga kini proses pemantauan masih berjalan.

Secara umum ada beberapa temuan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya terkait penanganan pascademo oleh Polda Metro Jaya.

Pertama, terkait penanganan para demonstran, Polda langsung memisahkan antara yang "diamankan" untuk kemudian dipulangkan kembali ke orang tuanya dengan yang dilanjutkan ke proses penyelidikan.

Kedua, adanya proses pencegahan penularan COVID-19 terhadap para peserta demo, baik yang diamankan maupun yang diselidiki dengan melakukan tes cepat.

Ketiga, tidak terjadi tindak kekerasan selama proses pengamanan dan penyelidikan di Polda Metro Jaya.

Baca Juga:Buruh Ajukan Legislative Review UU Cipta Kerja, Berharap ke PKS -Demokrat

Lalu keempat, pemberian konsumsi bagi para peserta demonstrasi diberikan dalam jangka waktu yang baik dengan kualitas yang baik.

Sejumlah massa dari berbagi elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Sejumlah massa dari berbagi elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

"Namun kami juga menemukan bahwa Polda Metro Jaya tidak memberikan akses bagi para pendamping atau penasehat hukum terhadap 43 orang yang diselidiki, walaupun mendapatkan pendampingan hukum dari penasehat yang disediakan oleh PMJ (Polda Metro Jaya)," kata Teguh.

Menurut Teguh, seharusnya para tersangka memiliki keleluasaan untuk memilih pengacaranya sendiri dan untuk itu perlu dibuka akses kepada para pengacara atau kelompok masyarakat sipil lain untuk melakukan pendampingan.

"Keterbukaan ini juga menjadi penting karena para tersangka diduga merupakan pihak-pihak yang dianggap merusak fasilitas publik dan ditengarai dibiayai oleh pihak-pihak tertentu," ujarnya.

Menurut dia, dengan membuka pengawasan terhadap proses penyelidikan ke masyarakat, Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya (PMJ) bisa menyampaikan seluruh proses pemeriksaannya secara transparan dan akuntabel.

Dengan keterbukaan ini, lanjut Teguh, dapat diketahui apakah benar, ada pihak ketiga yang membiayai, atau ini emosi massa di lapangan, atau massa yang terorganisir dengan tujuan tertentu.

"Ini untuk mengikis praduga-praduga yang berkembang di masyarakat dengan transparansi proses tersebut," kata Teguh.

Selain itu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya juga menyayangkan adanya tindakan kepolisian di bawah koordinasi Polda Metro Jaya yang mengancam akan mempersulit dikeluarkannya surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi UU Cipta Kerja.

Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berorasi saat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berorasi saat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 131 tersangka dalam ricuh unjuk rasa pada 8 Oktober dan 2020 dan 13 Oktober 2020, dari 131 orang tersebut sebanyak 69 telah ditahan.

Dari 69 orang yang ditahan tersebut, Polda Metro Jaya telah menetapkan 20 orang sebagai tersangka dalam kasus perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum seperti halte TransJakarta dalam ricuh unjuk rasa menolak Omnibus Law di Jakarta beberapa waktu lalu.

Adapun pasal yang dipersangkakan, terhadap 131 tersangka itu, yakni Pasal 212 KUHP tentang perlawanan terhadap petugas, Pasal 218 KUHP tentang melanggar aturan tidak berkerumun, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang dan barang dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak