SuaraJakarta.id - Armadi, Ebas, Agung dan Warto tampak berkeringat. Siang itu Desa Keranggan, Tangerang Selatan lagi terik-teriknya di siang bolong. Tapi mereka berempat tetap di tengah sawah dengan menutup kepalanya menggunakan kain sorban.
Armadi, Ebas, Agung dan Warto memendam biji-biji ke dalam tanah. Tanah-tanah itu sudah berlubang setelah ditusuk-tusuk jari. Selain Armadi, Ebas, Agung dan Warto, ada puluhan santri lain yang membantu.
Memakai kopyah dan 'peci haji', para santri dari Pondok Pesantren Nurul Ihsan itu berbagi tugas menanam bibit cabai, pepaya california, bayam, terong dan jagung.
Sawah dengan luas 1 hektar itu ditanami berbagai mancam tanaman buah dan sayur. Yang menjadi unik dari kegiatan mereka, bibit buah dan sayur yang mereka tanam adalah 'bibit mutan'.
Baca Juga:Siapapun Menang Pemilu AS, Tak Pengaruhi Kebijakan Iran ke Washington
Bibit yang ditanam para santri hasil dari pengembangan teknologi nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional atau BATAN. Bibit diberikan radiasi sinar gamma. Bibit yang diberikan radiasi ini membuat proses mutasi menjadi cepat.
Sebab mutasi alam memerlukan waktu yang panjang sampai ratusan bahkan ribuan tahun, tetapi mutasi dengan sinar gamma bisa mempercepat mutasi.
Bibit mutan itu dikembangkan di Pusat Isotop dan Radiasi-Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
Hasil mutasi ini membuat bibit menjadi lebih baik.
Penanaman bibit mutan di Pondok Pesantren Nurul Ihsan dilakukan tahun 2009 sampai 2012 lalu. Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ihsan Sobari bercerita saat itu pesantrennya jadi tempat uji coba penanaman bibit tersebut.
Baca Juga:Bapeten Tingkatkan Keselamatan dan Keamanan Energi Nuklir Lewat IKKN
Santrinya sudah mahir dalam bertani, tapi menanam bibit mutan baru pertama kali saat itu. Namun tidak ada perlakuan berbeda, cara menanamnya sama seperti menanam bibir alami lain. Hanya saja bibit itu dia dapatkan dari BATAN
Bibit mutan yang mereka tanam menghasilkan buah dan sayur melimpah. Kualitasnya lebih bagus dari biasanya.
Cabai yang besar, pepaya yang montong, bayam yang rimbun dan hijau, terong yang gemuk dan jagung yang mengkilat. Tanamannya pun subur dan bebas hama.
Hasil panen tidak dijual, tapi untuk makan warga pesantren
"Alhamdulillah hasilnya bagus," kata Sobari saat ditemui Suara.com di pesantrennya.
"Bedanya dengan yang itu lebih bagus karena dia punya banyak vitamin. Batang cabai teihat lebih besar. Untuk pepaya california, rasanya kebih manis. Sementara jagung manis, bijihnya lebih besar dan lebih manis dari jagung-jagung di pasaran," lanjut Sobari.
Sobari cerita, saat itu sekali panen bisa menghasilkan sampai 20 kilogram. Panen dilakukan saban 1 pekan sekali.
Sama dengan bayam, pepaya california, terong dan jagung manis.
"Lumayan menghasilkan. Setidaknya bisa mencukupi kebutuhan makan para santri di pondok," ungkap Ebas.
Selain mencicipi menanam dan menikmati buah dan sayur hasil mutasi nuklir, warga pesanten juga diajak uji coba pakan ternak sapi dan bio gas dengan memanfaatkan jerami padi kering dan kotoran sapi. Sama, pakan ternah ini juga dipapari radiasi nuklir.
Bio gas tersebut, berhasil dijalankan dan dimanfaatkan selama 2 tahun untuk memasak berbagai makanan. Misalnya masak air, tempe goreng dan lainnya.
Tetapi, kemudian bio gas itu dihentikan lantaran dari toren tempat penampungan bio gas meledak. Ada satu meledak akibat adanya kebocoran.
"Meledaknya nggak terlalu kencang, seperti letusan balon dan nggak bahaya. Setelah itu, akhirnya nggak kita pakai sampai sekarang karena nggak bisa diperbaiki," tutur Ebas salah satu pengasuh pesantren.
Sebetulnya, pihak ponpes berharap bio gas tersebut dapat digunakan lagi. Tetapi, terkendala modal.
Diperkirakan, butuh Rp 15 juta untuk membuat satu paket petalatan bio gas dengan kotoran sapi itu.
Suara.com keliling pesantren untuk melihat bekas lahan lokasi penanaman bibit mutan. Kini lahan itu hanya tersisa beberapa meter. Lahan itu kini dimanfaatkan oleh para santri unuk menanam singkong dan cabai.
Pondok Pesantren Nurul Ihsan cukup luas. Masuk ke sana tidak terhalang gerbang atau pagar, 'loss' pesantren terlihat dari luar.
Ada masjid megah di depan pondok, di kelilingi sekira dua bangunan asrama santri bertingkat. Di belakang ponpesnya, ada kandang sapi dan empat ekor sapinya sedang memakan rumput.
Di belakang kandang itulah, ada bekas lahan tanam mutan kerjasama dengan Batan. Diperkirakan, luasnya mencapai 1 hektar. Tetapi, tidak semua dimanfaatkan, hanya beberapa ratus meter saja yang dimanfaatkan.
Terkini, lahan itu sudah beralih kepemilikan dan fungsi menjadi lahan perumahan. Sudah ada tembok besar di sana menjadi pembatas lahan perumahan dengan lahan ponpes. Sudah ada puluhan rumah yang berdiri, tapi masih ada lahan yang tersisa dan cukup luas.
Beruntung, ada sedikit lahan yang tersisa berukuran sekira luas 3x10 meteran. Lahan itu, dimanfaatkan untuk lahan tumpang sari. Mulai dari singkong, cabai dan pisang.
Selain lahan tanaman mutan, terlihat ada bekas lahan yang digunakan bio gas. Tetapi, toren penampungnya sudah tak ada lagi. Sisanya, hanya lahan persegi yang kini sudah menjadi kolam lele.
Tetapi, masih ada sedikit potongan peralon penyalur bio gas yang terpasang di tembok dapur rumah Sobari itu.
Manfaat bio gas itu sebetulnya ingin dibikmati kembali oleh keluarga Sobari dan santri lainnya. Tetapi harapan itu sepertinya cukup sulit terwujud lantaran Sobari tak memiliki uang untuk mewujudkannya.
Mutasi Radiasi
Benih mutan bukan barang baru dunia, begitu juga di Indonesia. Benih mutan ini dikembangkan lewat aplikasi teknologi isotop dan radiasi BATAN. Teknologi ini dicanangkan untuk berkontribusi terhadap pengkayaan jumlah varietas tumbuhan, baik buah atau juga sayuran.
Di Indonesia pengembangan teknologi nuklir untuk pertanian dan peternakan di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, PAIR-Batan di Jalan Cempaka Lestari II, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Bahasa resmi teknologi ini adalah pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi radiasi. Secara singkat prosesnya adalah benih induk disinari dengan radiasi gamma Cobalt-60 dengan dosis 0,20 kilogray. Kilogray satuan radiasi yang aman untuk bahan makanan.
Radiasi mampu menembus biji tanaman sampai ke lapisan kromoson. Struktur kromosom pada biji tanaman dapat dipengaruhi dengan sinar radiasi ini. Perubahan struktur karena radiasi dapat berakibat pada perubahan sifat tanaman dan keturunannya.
Fenomena ini digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman agar mendapatkan biji tanaman dengan keunggulan tertentu, misalnya tahan hama, tahan kekeringan, dan cepat panen. Padi yang diradiasi bersifat aman sepenuhnya, tidak ada unsur radioaktif yang tertinggal.
Pemuliaan mutasi tanaman di Indonesia dilakukan sejak tahun 1970-an. Saat itu BATAN bekerjasama dengan IAEA untuk mendapatkan varietas padi dengan kandungan protein tinggi. Namun di tengah perjalanan, tujuan penelitian berubah untuk mendapatkan varietas yang tahan hama WBC. Di tahun 1976, WBC menyerang hampir semua persawahan di Indonesia, terutama di Sumatera Utara.
Sementara produk tumbuhan mutan pertana BATAN adalah padi di tahun 1982 dengan nama Atomita 1. Padi dini tahan terhadap hama WBC.
Hingga saat ini, BATAN telah menghasilkan 28 varietas padi, 12 varietas kedelai, 3 varietas sorgum, 1 varietas gandum, 2 varietas kacang hijau, dan 1 varietas kapas.
Suara.com ke PAIR-BATAN, bertemu dengan Doktor Sobrizal, peneliti BATAN. Peneliti senior ini menjadi satu di antara sedikit peneliti pemuliaan mutasi tanaman di Indonesia. Sepanjang hidupnya, Sobrizal banyak mengembangkan tanaman mutasi.
PAIR-BATAN tempat pengembangan dan aplikasi teknologi isotop dan radiasi. Di sana juga tempat produksi bibit mutan.
Hal langka, Suara.com pun mengelilingi PAIR-BATAN. Masuk ke kawasan itu sangat ketat, bahkan harus melewati penjagaan. Maklum saja, di sini tempat riset berbau nuklir. Tidak sembarang orang bisa berliling di sana.
Sebab gedung, ruangan dan fasilitas di sana tidak sembarangan dimasuki. Sebagain gedung dan ruangan terpasang simbol radioaktif.
Di sana terdapat fasilitas Iradiasi Serba Guna (IRPASENA). Di tempat ini ada Gamma Cell 220 AECL Upgraded. Ini adalah sebuah fasilitas nuklir yang dapat dimanfaatkan oleh para peneliti BATAN dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pemuliaan tanaman dengan teknologi mutasi radiasi.
Di sana juga ada rumah kaca temnpat pemuliaan padi dan jagung. Jarak keduanya berdekatan. Di antara tanaman mutan itu, terdapat papan peringatan 'awas bahaya radiasi' dengan warna orangye. Peringatan itu, membuat kita untuk selalu waspada soal paparan radiasi nuklir.
Nuklir untuk Pertanian
Sobrizal bercerita Indonesia potensial dalam pengembangan teknologi nuklir untuk pertanian. Tujuannya untuk meningkatkan produksi pangan. Tanaman mutan tersebut merupakan hasil pemuliaan tanaman menggunakan radiasi teknologi.
Tujuannya, mengubah dan membuat mutasi pada gen memunculkan varietes baru yang lebih baik dari kualitas dan kuantitasnya.
"Prinsipnya, kita memilih tanaman mana yang terbaik dari keragaman yang luas dengan menggunakan iradiasi sinar gama. Jadi dengan meradiasi benih akan terjadi perubahan genetik pada benih tersebut, sehingga terjadi perubahan sifatnya dan karakternya. Di situlah nanti kita pilih hasil benih yang terbaik," kata Sobrizal.
Selain berkualitas, varietes tanaman mutan yang dihasilkan lebih tahan hama, tahan kekeringan dan masa panennya lebih cepat. Selain itu, bibit tersebut aman dari endapan nuklir.
"Pemuliaan tanaman ini dapat memunculkan sifat baru. Kita ingin membuat padi jadi tahan terhadap hama tapi kita enggak punya sumber genetik ketahanan itu. Nah ini kita bisa gunakan radiasi mutasi untuk mendapatkan produksinya tinggi dan bagus serta tahan hama. Tidak ada efek sampingnya, karena itu sinar jadi tidak ada residunya," ungkap Sobrizal.
Salah satu alat yang digunakan untuk meradiasi bibit tanaman disebut gamma cell. Radiasi nuklir itu, berada di sebuah alat seperti teko raksasa berwarna hijau. Bibit tanaman itu dimasukan ke dalam secara vertikal dari atas ke bawah lalu diatur sesuai waktu yang telah ditentukan.
Setelah diradiasi, bibit mutan itu disimpan di dalam suatu ruangan khusus yang terkunci rapat dan tak sembarang orang masuk bahkan menyentuh sample-sample tersebut.
Tak hanya sekadar uji coba, pengembangan tanaman mutan itu sudah menuai hasil yakni Padi Rojolele Srinuk dan Srinar yang menjadi varietes unggulan. Dua varietes itu pun sudah ditanam dan menuai hasil melimpah di Kabupaten Klaten Jawa Tengah di lahan sekira 4 hektare.
Hasilnya, menjadi bibit unggulan yang kemudian dibagikan kepada kelompok petani. Di BATAN sendiri, benih unggulan itu pun tersedia disimpan rapat-rapat di ruangan pendingin hingga nangi didistribusikan ke kelompok tani. Selain itu, masih ada belasan padi mutan yang sudah didaftarkan menjadi varietes baru dan bibitnya sudah tersedia dan disebar melalui kelompok tani.
Meski begitu, salah satu kelemahannya yakni pada harga. Dengan kualitas varietes unggul, membuat harga bibitnya pun menjadi tiga kali lipat.
Selain menghasilkan tanaman mutan, radiasi gamma nuklir itu pun bisa dimanfaatkan untuk membentuk hama mutan. Caranya, berbagai sample hama diambil lalu diradiasi agar membuat hama mandul. Misalnya, belalang. Setelah hama mandul itu selesai diradiasi, lalu dilepaskan, tidak bisa bereproduksi beranak-pinak. Dengan begitu, populasi hama bisa teratasi.
Tak hanya itu, radiasi nuklir juga bisa dimanfaatkan di bidang peternakan mulai dari nutrisi pakan hingga reproduksi peternakan. Selain itu, juga bisa digunakan sebagai tracer kesuburan tanah.
Harga Bibit yang Mahal
Ada empat label benih padi yakni, label kuning atau atau benih inti/Breeder seed (BS), label putih atau benih dasar/foundation seed (FS), label ungu atau benih pokok/stock seed (SS) dan label biru atau benih sebar/certified seed (CS)
“Benih hasil pemuliaan tanaman itu berlabel kuning harganya cukup tinggi, sekira Rp 35 ribu perkilogram. Sedangkan benih yang biasa digunakan oleh petani berlabel biru harganya sekira Rp 10 ribu perkilogram. Untuk pembelian benih di BATAN ini, uangnya langsung masuk ke negara,” ungkap Sobrizal.
Hasil pemuliaan tanaman menggunakan radiasi nuklir itu tak sembarangan dipasarkan dan disebar ke petani. Setelah berhasil dibentuk varieties baru, harus dibuat proposal pelepasan varieties terlebih dahulu. Salah satu syaratnya, peneliti harus juga menyiapkan 100 kilogram atau 1 kwintal benih untuk disebar ke petani setelah melewati beberapa generasi dari varietes tersebut hingga mencapai label putih.
“Di saat kita mengajukan calon varietes disidang, lembaga yang melepas varieties itu berkewajiban menyediakan benih padi kelas BS sebanyak 100 kilogram atau satu kwintal. Dari label kuning hingga ke label biru yang digunakan petani diperkirakan memakan waktu satu tahun lebih benih siap sebar,” tutur Sobrizal.
Pengembangan pemuliaan tanaman padi mutan itu hingga saat ini belum merata dilakukan di Indonesia. Hanya ada beberapa daerah yang sudah bekerjasama dengan BATAN dalam mengembangkan varieties baru benih padi mutan itu.
Misalnya di Kabupaten Kerinci, Klaten, Sinjunjung dan daerah lain-lain. Salah satu kendalanya, lantaran keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di tingkat daerah untuk melakukan penelitan pemuliaan tanaman tersebut.
“Tetap ada kendala yakni keterbatasan SDM di daerah-daerah. Kalau pertanian sampai ke daerah kan ada. Kalau di BATAN, SDM terbatas, di seluruh BATAN ada sekira 2.000 lebih, di sini (BATAN Lebak Bulus) ada 200 pegawai dan khusus di pertanian hanya ada 20 orang. Jumlah itu memang cukup ideal, tetapi ketika melakukan penelitian di daerah, kita terbatas SDM karena belum ada BATAN provinsi,” ungkap Sobrizal.
Kontributor : Wivy Hikmatullah