Kisah Keluarga Pemulung di Tangsel: Corona Gak Kena, Mati Kelaparan Iya

Mereka yang istirahat itu berasal dari dua keluarga yang keseharian sebagai pemulung.

Rizki Nurmansyah
Senin, 15 Februari 2021 | 17:06 WIB
Kisah Keluarga Pemulung di Tangsel: Corona Gak Kena, Mati Kelaparan Iya
Rodiah dan Nengsih serta anak-anaknya yang menjadi keluarga pemulung tengah beristirahat di depan SMA ora Et Labora di Jalan Angsana, Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangsel, Senin (15/2/2021). [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

Paling banyak, Rodiah mengaku bisa mendapatkan Rp 100 ribu sehari. Sedangkan paling sedikit bervariasi. Kadang Rp 50 ribu bahkan hanya Rp 10 ribu.

"Sepi mas, seharian keliling juga dapatnya cuma segini nih. Paling Rp 10 ribuan kalau di kilo. Nggak tentu, karena harganya juga nggak tentu," akunya.

Dengan penghasilan itu, dia harus bertahan menghidupi dirinya dan keponakannya yang yatim piatu.

Belum lagi dia harus membayar cicilan smartphone sebesar Rp 300 ribu setiap bulannya, agar keponakannya bisa belajar secara daring.

Baca Juga:Heboh Paket Valentine Isi Cokelat dan Kondom, Satpol PP Tangsel: Belum Nemu

Mirisnya, dia dan keluarganya tak pernah mencicipi manisnya bantuan dari pemerintah. Baik berupa bantuan sosial (bansos) maupun jaring pengaman sosial.

"Dari awal saya enggak dapat bantuan, enggak pernah dapat. Karena saya orang merantau, jadi namanya enggak ditulis di sananya kali. Sama RT juga enggak. Padahal butuh banget ini. Apalagi ini anak sekolahnya online, sampai ngutang beli HP Rp 300 ribu per bulan, temponya 10 bulan. Buat makan aja kadang susah, tapi ya mau bagaimana," papar wanita 48 tahun itu.

Rodiah nekat tetap keliling menjadi pemulung di tengah pandemi Covid-19 lantaran untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

"Takut mah takut. Jangan sampai enggak kena corona, tapi mati kelaparan," pungkas Rodiah menggunakan masker.

Menurutnya, ada enam gerobak yang biasa mulung dan istirahat di satu lapak bersama dirinya. Mereka rata-rata satu keluarga—orang tua dan anak.

Baca Juga:Pengelolaan Sampah, Wawalkot Tangsel Minta Pemprov Banten Buat TPA di Lebak

Tetapi, saat Suara.com ke lokasi, kebetulan keluarga gerobak lainnya sedang libur.

Rodiah dan Nengsih serta anak-anaknya yang menjadi keluarga pemulung tengah beriatirahat di depan SMA ora Et Labora di Jalan Angsana, Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangsel, Senin (15/2/2021). [Suara.com/Wivy Hikmatullah]
Rodiah dan Nengsih serta anak-anaknya yang menjadi keluarga pemulung tengah beristirahat di depan SMA ora Et Labora di Jalan Angsana, Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangsel, Senin (15/2/2021). [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

Di samping Rodiah, ada Nengsih. Wanita berusia 35 tahun itu juga mengajak anaknya ikut mulung. Mulai dari usia 15 tahun, 11 tahun dan paling kecil 4 tahun.

Nengsih mengaku terpaksa memulung karena tak lagi memiliki penghasilan sejak pandemi Covid-19.

"Saya mulung mulai pandemi aja. Tadinya ngurusin anak, tapi suami nganggur. Kontrakan kan harus dibayar juga Rp 600 sebulan, butuh makan juga," katanya.

Dia terpaksa mengajak ketiga anaknya agar membantu mendapatkan penghasilan di tengah wabah Covid-19.

"Khawatir mah khawatir mas. Cuma bagaimana, kita butuh makan. Suami juga nganggur, daripada kelaparan, kita akhirnya mulung," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini