SuaraJakarta.id - Bau asap dupa dan lilin yang terbakar di Vihara Boen Hay Bio menyesakkan hidung. Bagi yang tak biasa, akan tak betah berlama-lama berada di vihara.
Hal itu tak berlaku bagi Agus. Dia sudah kebal dengan bau asap bakaran dupa dan lilin merah besar itu. Yang paling menarik, Agus merupakan salah satu pegawai muslim di Vihara tertua di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Agus merupakan satu dari dua pekerja muslim di Vihara Boen Hay Bio Serpong Tangsel. Tempat itu pun merupakan vihara sekaligus klenteng. Vihara terletak di lantai 2 dan klenteng di lantai satu.
Baca Juga:Masjid Al-Muttaqin Tangerang, Jejak Dakwah Raden Aria Wangsakara
Agus sudah tujuh tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di sana. Semula, tak mudah bagi Agus untuk terbiasa dengan suasana vihara.
Tetapi, karena kebutuhan ekonomi, mau tidak mau ia harus terbiasa dengan pekerjaanya di tempat ibadah warga Konghucu itu.
Selama bekerja, Agus tak mendapat tekanan apapun soal agama. Pengurus vihara pun tak membatasi Agus untuk sholat. Terlebih, saat ini sedang puasa Ramadhan.
Menurutnya, tempatnya bekerja itu tak memengaruhi pada pelaksanaan puasa. Lantaran puasa menurutnya, tergantung pada niat hati masing-masing.
"Di klenteng kan memang nggak ada yang puasa. Tetapi saya namanya orang kerja, puasa itu bukan soal agama tergantung niat hati kita. Meskipun banyak yang tidak puasa, Alhamdulillah saya nggak kena pengaruh," katanya bercerita kepada SuaraJakarta.id.
Baca Juga:Masjid Al-Muttaqin Tangerang, Saksi Perjuangan Dakwah Raden Aria Wangsakara
Agus menuturkan, di vihara ada banyak patung dewa yang kadang dia bersihkan. Patung-patung tersebut yang biasa disembah oleh umat Konghucu dan Budha saat berkunjung ke vihara.
Selama tujuh tahun bekerja di Vihara Boen Hay Bio Serpong Tangsel, dia merasa hal itu tak memengaruhi keyakinannya sebagai muslim.
Agus meneguhkan keyakinan dirinya dengan potongan Surat Al Kafirun yang berbunyi "Lakum Dinukum Waliyadin". Yang berarti "bagimu agamamu dan bagiku agamaku".
Menurutnya, yang jadi persoalan sebetulnya bukan pada agamanya. Tetapi pada diri manusianya sendiri.
"Saya cuma kerja aja, nggak ada pengaruh apa-apa. Orang sembahyang-sembahyang aja. Semua agama bagus, nggak ada yang jelek. Mau Kristen, Budha dan Islam. Semua bagus. Di manapun tempat ibadah nggak perlu khawatir, yang jelek itu manusianya, bukan agamanya," tutur Agus.
Selama tuhuh tahun bekerja di Viharan Boen Hay Bio itu, Agus tak pernah mendapat masalah soal agama. Baik dari pengurus dan umat yang datang beribadah pun saling menghargai.
Bahkan saat menjelang perayaan Idul Fitri, Agus selalu mendapat tunjangan hari raya (THR) dari umat yang dia kenali.
"Biasanya kalau Lebaran ada aja yang ngasih THR. Tapi emang lebih banyak pas perayaan Imlek. Kalau itu tergantung kitanya, kalau bergaul baik banyak kenal sama yang ibadah di sini ya makin banyak yang ngasih. Meskipun tidak semua," papar Agus.
Saat Ramadhan ini, jam kerjanya pun tak berubah dari pagi sekira pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB.
Saat SuaraJakarta.id berkunjung ke Vihara Boen Hai Bio, pengurus vihara memfasilitasi tempat dan camilan berbuka puasa. Bahkan, ditawari untuk masak makanan sebagai menu tambahan usai makan takjil.
Pekerja muslim lainnya bernama Ana. Wanit berusia 44 tahun itu sudah bekerja menjadi petugas kebersihan selama 4 tahun. Dirinya, merupakan seorang mualaf.
Selama 4 tahun bekerja, Ana juga tak merasa mendapat larangan apapun untuk sholat.
"Nggak ada larangan. Sholat ada ruangan khusus di atas. Biasa aja sih yang penting niatnya," ungkapnya.
Perbedaan agama, tak menjadi soal bagi kedua pekerja muslim di Vihara Boen Hay Bio Serpong itu.
Keduanya justru merasa mendapat keluarga baru, di lingkungan tempat ibadah agama lain. Rasa toleransi membuat keduanya betah bekerja di Vihara Boen Hay Bio Serpong Tangsel.
Kontributor : Wivy Hikmatullah