Orang-orang dari Banten ini tinggal di tanah wakaf, di Gang Kiara. Mereka mencari nafkah dengan menjadi kuli panggul di Stasiun Angke Duri dan Beos atau di pasar. Setelah di Jembatan Lima dibangun jalan raya, mulai berdatangan orang-orang dari Bogor, Cirebon, dan Tasikmalaya.
Mereka mencari nafkah dengan berdagang makanan dan kerajinan. Misalnya orang Bogor berdagang nasi dan kopi, orang Cirebon berdagang gado-gado, orang Tasikmalaya berdagang barang kerajinan (payung, kelom geulis, tas), dan orang Tegal berdagang nasi di pasar.
Sedangkan orang Betawi bekerja di toko atau perusahaan swasta, pelayan toko, juru tulis, jaga malam atau mandor. Para pekerja kantor di tahun 1930-an mendapat gaji sekitar F. 10 sampai F. 30.
Penduduk kampung Jembatan Lima mayoritas terdiri dari para pendatang. Orang-orang dari Sumatra (Lampung, Palembang, Padang) datang untuk menuntut ilmu di Pesantren KK Moch. Mansur, kecuali orang Palembang yang datang untuk berjualan kopiah di pasar Jembatan Lima bersama dengan orang Cina.
Baca Juga:Heboh akan Ada Rapat Akbar Demit Malang Raya di Jembatan, Begini Ceritanya
Orang Cina ini mula-mula hanya tiga keluarga dan menetap di Kampung Sawah Lio, membuka warung untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika makin banyak pendatang, penduduk asli pindah ke Tanah Abang dan Kebayoran Lama setelah menjual rumahnya ke orang Cina.
Di Jembatan Lima ada sebuah masjid tua yang disebut Masjid Jami Al Mansur. Dalam perjuangan revolusi, masjid ini dijadikan pusat latihan penggemblengan mental para pejuang.
Tradisi yang berlaku di Jembatan Lima memiliki keunikan tersendiri terutama mengenai tata cara perkawinan yang berlaku di kalangan orang Cina. Setelah berpacaran biasanya kedua pasangan berikrar untuk bertunangan (tukar cincin).