SuaraJakarta.id - Asal usul kepala naga Jakarta Utara, kawasan paling hoki di Indonesia. Kepala naga merupakan sebuah filosofi yang mengakar di kepala warga Jakarta dan pebisnis nusantara. Kawasan ini dianggap paling prospektif dalam berbisnis, bahkan kawasan hunian elite.
Menurut pemahaman feng shui daerah kepala naga sendiri dipercaya sebagai daerah yang mendatangkan keberuntungan sesuai dengan simbol dari naga yang menurut kepercayaan orang Tionghoa membawa rezeki. Meskipun rawan dengan banjir kawasan Jakarta Utara tetap banyak diminati oleh para investor untuk membuka usahanya di sana.
Perkembangan ekonomi di Jakarta sendiri diawali dari Jakarta Barat yang kemudian berkembang ke kawasan Utara Jakarta karena terdapat pelabuhan di kawasan tersebut.
Menurut ilmu feng shui, Jakarta dilintasi 13 sungai diketahui termasuk elemen energi naga sungai. Energi bumi sendiri dibagi menjadi tiga yakni naga gunung, naga sungai dan naga dataran datar.
Baca Juga:Melonjak, TPU Rorotan Jakarta Utara Terisi 400 Makam Pasien Covid-19
Kawasan-kawasan yang terletak di bagian kepala naga itulah yang banyak membawa hoki, kepala naga sendiri terbagi menjadi dua yaitu kepala naga utama dan kepala naga kecil.
Semakin maksimal dalam menyerap energi dari naga sungai, hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat ceruk atau kawasan yang dapat menahan aliran air agar tidak dapat langsung mengalir ke laut, hal ini dapat dilihat dengan pembangunan Pantai Mutiara
Terdapat beberapa wilayah-wilayah Kepala Naga di Jakarta antara lain Tanjung Priok, Sunda Kelapa, Hayam Wuruk, Kota Tua, Sudirman, Thamrin, Glodok, dan termasuk di wilayah Kelapa Gading.
Adanya pemahaman Fengshui dalam menentukan letak bisnis ataupun interior yang melambangkan keharmonisan alam bersatu dengan lingkungan ini, telah berkembang lama di Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari banyaknya Tionghoa yang diperkirakan telah mendiami Jakarta jauh sebelum masa kolonial sehingga tidak mengherankan bahwa masyarakat Tionghoa juga turut berkontribusi dan memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Baca Juga:Potret Toleransi, Rumah Adat Tionghoa Bakal Dibangun di Kubu Raya
Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia saat ini merupakan keturunan dari orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia menurut catatan sejarah, awal mula kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM - 220 M).
Di mana masa itu Tiongkok telah membuka perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, dan sebelum tahun-tahun tersebut telah ada orang Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa pada masa Dinasti Tang yang mayoritas berasal dari Provinsi Fujian dan Guangdong di bagian Cina selatan.
Pada masa dinasti Tang, daerah tersebut cukup strategis untuk berdagang dan timbul keinginan bagi para pedagang-pedagang tersebut memperluas kolega perdagangan mereka dan dimulailah pelayaran.
Pelayaran yang dilakukan orang-orang ini sangat bergantung kepada arah angin sehingga, sempat dan sering singgah kemudian menetap di wilayah laut Cina Selatan, salah satunya meupakan kepulauan Nusantara (Republik Indonesia) sekitar abad ke-4 hingga ke-7.
Kemudian pada abad ke-9, ketika tentara pemberontakan pimpinan Huang Chao menduduki Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia yang berjumlah besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong ke Sriwijaya.
Pada dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke Nusantara.
Di akhir dinasti Ming (1368-1644) dan awal dinasti Ching (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah akibat adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap dinasti Ming sehingga banyak penduduk yang berimigrasi menghindari peperangan.
Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan, seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan.
Para perantau tidak berasal dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiau-Chiu, dan orang kota Kanton.
Pada perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia pada 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian ini akhirnya memunculkan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa tengah dibantu pula oleh etnis Jawa.
Pada akhirnya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia pada tahun 1619 Tionghoa sudah tinggal disebelah Timur Sungai Ciliwung yang letaknya tak jauh dari pelabuhan. Masyarakat disana kala itu menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Banyak masyarakat Tionghoa yang diusur kemudian dipindahkan ke kawasan Glodok.
Sumber: UNY, Historia, Jurnal UNY
Kontributor : Kiki Oktaliani