SuaraJakarta.id - Warga Kampung Bayam, Pademangan, Jakarta Utara, menggeruduk Balai Kota Jakarta, pada Kamis (1/12/2022). Mereka menagih janji Pemprov DKI untuk bisa tinggal di kampung susun usai sebelumnya terkena gusuran akibat pemukiman mereka dibangun Jakarta Internasional Stadium (JIS).
Saat itu warga mau digusur lantaran dijanjikan oleh Pemorov DKI hunian yang lebih layak. Mereka akan dibuatkan kampung susun. Setelah rampung, warga bisa kembali tinggal disana.
Salah seorang warga, Jelly (42) mengaku saat digusur pada 2020 lalu, ia mendapat uang kompensasi senilai Rp 20 juta. Uang tersebut ia gunakan untuk mengontrak rumah sembari menunggu pembangunan itu rampung.
Rumah yang ditempati Jelly saat ini memiliki sewa Rp7 juta per tahun. Sembari menunggu pembangunan kampung susun, Jelly mengontrak rumah selama dua tahun. Pembayaran sewa menggunakan uang dari kompensasi.
Baca Juga:Yakin Anies Baswedan Bakal Hadiri Reuni 212, Habib Syakur: Itu Gerakan Politik Kekuasaan!
Namun nahas, jatuh tempo kontrakan Jelly habis pada 15 Oktober kemarin. Sementara hingga kini ia belum bisa masuk ke dalam hunian yang sebelumnya dijanjikan. Padahal 12 Oktober kemarin, Kampung Susun Bayam telah diresmikan oleh Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta.
“Untung yang punya kontrakan ngerti. Saya dapat kompensasi sama yang punya sampai hari ini,” kata Jelly, saat ditemui Suara.com, di depan Balai Kota, Kamis.
Jelly saat ini hanya bisa pasrah. Barangnya mulai ia keluarkan dari kontrakannya, dititipkan kepada beberapa warga lain yang bisa menampungnya.
Sementara, ia tinggal di tenda yang dibuat warga di depan pintu gerbang Kampung Susun Bayam.
Jelly yang mengaku berprofesi sebagai pemulung itu hanya bisa mengumpulkan uang Rp 175 ribu per minggu usai menjual botol dan gelas bekas air mineral yang telah ia bersihkan.
Baca Juga:Puluhan Warga Kampung Bayam Geruduk Balai Kota Tagih Janji Pemprov Sampai Pukul-pukul panci
Selain jadi pemulung, Jelly juga menjadi buruh cuci, dengan upah Rp 300 ribu per bulan. Jika ditotal dari kedua profesinya, penghasilan Jelly masih dibawah rata-rata.
Sementara, suami Jelly, yang berprofesi sebagai nelayan yang pulang dari melaut 10 bulan sekali. Dari hasil melaut itu, suaminya membawa upah senilai Rp 7 juta.
“Kalau yang ditetapin sama JakPro kemarin kan Rp 600 ya, kita keberatan juga. Karena upah bulanan saya gak cukup segitu. Sementara suami pulang kan hampir setahun sekali,” jelasnya.
Ia berharap, pemerintah dapat memberikan solusi agar kehidupannya bisa lebih layak. Lantaran tidak mungkin ia tinggal di tenda depan pintu gerbang terlalu lama. Terlebih saat musim hujan.
“Ya kalau ujan barang-barang kebasahan. Kalau panas kaya sekarang yang kemarin basah kena ujan kita jemur,” tutupnya.