Said Aqil: Jika Tak Ada Al-Azhar di Mesir dan NU di Indonesia, Umat Islam Akan Mudah Dibawa ke Tubir Kehancuran

Said Aqil mengulas panjang lebar sejarah keruntuhan kekhalifahan Islam (Turki Utsmani).

Rizki Nurmansyah
Minggu, 04 September 2022 | 08:00 WIB
Said Aqil: Jika Tak Ada Al-Azhar di Mesir dan NU di Indonesia, Umat Islam Akan Mudah Dibawa ke Tubir Kehancuran
Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. [Suara.com/Oke Atmaja]

SuaraJakarta.id - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengatakan bahwa dunia sedang menaruh harapan besar pada Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak, yang memiliki wajah keislaman moderat, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Hal itu dia sampaikan dalam acara diskusi kebangsaan sekaligus serah terima pergantian kepemimpinan baru Direktur Ekskutif SAS (Said Aqil Siradj) Institute, yang sebelumnya dijabat oleh Imdadun Rahmat, kemudian digantikan oleh Sadullah Affandy.

"Hari ini umat Islam di dunia tak bisa lagi mengharap kebangkitan Islam dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Umat Islam di sana saling berperang dan memusuhi. Sejak terbentuknya negara bangsa, dunia telah berubah. Saat ini dunia sedang menaruh harapan besar pada Indonesia," kata Said di Sekretariat SAS Institute, dalam keterangan resminya, Sabtu (3/9/2022).

Dalam kesempatan tersebut, Said Aqil mengulas panjang lebar sejarah keruntuhan kekhalifahan Islam (Turki Utsmani). Kemudian munculnya negara-bangsa, hingga tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit kelompok Islam radikal yang nyaris membawa kehancuran dan keruntuhan Islam di Timur Tengah.

Baca Juga:Daniel Mananta Tanya soal Isa Almasih dalam Ajaran Islam, UAS Beri Penjelasan Lugas: Dia adalah Rasul Utusan Tuhan

"Jika tidak ada Al-Azhar di Mesir di Timur Tengah dan NU di Indonesia, Islam dan umat Islam akan mudah dibawa ke tubir kehancuran," ujarnya.

Ia menyebut Indonesia beruntung memiliki ulama besar bergelar pahlawan nasional seperti KH Hasyim Asy’ari yang menurutnya berhasil menyatukan keislaman dengan kebangsaan, yang dapat menjadi fondasi dan perekat bagi kesatuan umat. Di Timur Tengah, kata Said, Islam dan nasionalisme tidak bisa disatukan dan bisa saling membelakangi.

"Di Timur Tengah kita tidak akan menemui orang seperti Hasyim Asyari yang merupakan seorang ulama sekaligus nasionalis. Di Timur Tengah, tempat kelahiran Islam, ulama, dan nasionalis memiliki agenda dan perjuangannya sendiri-sendiri," tuturnya.

Karena itu, kata Said, pernyataan K.H. Hasyim Asyari soal hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air bagian dari iman, bukanlah rumusan yang sederhana. Karena di dalamnya mengandung penegasan bahwa nasionalisme memiliki basis teologi di dalam Islam.

Sementara itu, Direktur Ekskutif SAS Institute Sadullah Affandy berharap agar SAS Institute mampu merekam, mengabadikan, sekaligus dapat melanjutkan pikiran dan gagasan besar Said tentang keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Baca Juga:10 Peristiwa di Bulan Safar yang Bersejarah dalam Islam

Sadullah mengatakan bahwa Said Aqil menjadi tokoh berpengaruh urutan ke-19 dari 500 tokoh dunia muslim versi lembaga riset di Jordania.

Sebagai tokoh dan guru bangsa, katanya lagi, Said juga melanjutkan tongkat estafet perjuangan para guru bangsa pembaru Islam terdahulu, seperti Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, hingga Ahmad Syafi'i Maarif atau Buya Syafi'i Maarif.

"Mudah-mudahan SAS Institute bisa menerjemahkan dan menafsirkan gagasan, pikiran, serta ide-ide besar Kiai Said dalam memperjuangkan Islam rahmatan lil alamin ini," kata Sadullah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini