Selain itu, KPI meminta kepada televisi dan radio untuk lebih selektif dalam memilih talent atau narasumber dalam topik yang dipilihnya.
"Karena jika lembaga penyiaran memberi ruang kepada pelaku maka itu akan menstimulasi perspektif dan persepsi publik bahwa KDRT adalah perilaku yang lumrah dan biasa karena yang bersangkutan masih bisa bebas tampil di televisi bahkan berpotensi diglorifikasi secara masif," katanya.
Lebih lanjut, Nuning mengatakan bahwa KPI tetap memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran meski larangan menampilkan pelaku KDRT hanya sebuah imbuan. Pihak KPI akan mengkaji apakah program tersebut murni sebagai proses hukum atau sebagai pembenaran dari pihak pelaku.
Teguran atau sanksi yang nantinya diberikan oleh KPI akan merujuk pada UU Penyiaran 32 Tahun 2002 yang mengamanatkan bahwa penyiaran harus memiliki fungsi untuk mengedukasi, memberikan informasi dan hiburan bagi masyarakat. Fungsi edukasi itulah yang kemudian menjadi dasar untuk meminta ke semua lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan, tidak memberikan ruang bagi pelaku KDRT.
Baca Juga:Dugaan KDRT Rizky Billar pada Lesti Kejora, Polisi Periksa Karyawan dan Teman Korban
Selain itu, rujukan lainnya yang bisa digunakan untuk memberikan teguran adalah melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
"Kalau dalam konteks penegakan hukum kita akan berikan permakluman itu, tapi kalau dia jadi narasumber yang justru akan membuka ruang privat dan semakin menguatkan hegemoni dia atas perilaku yang dilakukan, bagi kami itu sudah tidak layak lagi untuk tampil di televisi," ujar Nuning.