Wali Kota Bogor Bima Arya Dorong Judicial Review Omnibus Law ke MK

Pemerintah daerah tidak diikutsertakan di penyusunan UU Omnibus Law ini.

Dwi Bowo Raharjo
Minggu, 11 Oktober 2020 | 21:37 WIB
Wali Kota Bogor Bima Arya Dorong Judicial Review Omnibus Law ke MK
Wali Kota Bogor Bima Arya. [Foto: Ayobogor.com]

SuaraJakarta.id - Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, mengatakan pihaknya akan mendorong untuk melakukan judicial review terhadap Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.

Hal itu diungkapkan Bima Arya dalam postingan di Istagram milik pribadinya pada Minggu (11/10/2020).

Orang nomor wahid di Kota Hujan ini mengatakan ada dua opsi yang bisa diambil dalam kontroversi Omnibus Law ini.

Pertama menguji konsistensi UU Cipta Kerja ini dengan kontitusi daerah dengan proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga:Soal UU Cipta Kerja, Hotman Paris Siap Datangi Jokowi Demi Bantu Buruh

Ke dua, membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan keputusan Presiden, untuk mamastikan aturan turunan memberikan kepastian terkait kewenangan daerah dan pembangunan yang berkelanjutan.

"Opsi catatan ini saya sebagai kepala daerah ingin melihat ikhtiar luar biasa dalam hal ini Presiden dan Pusat, dan juga kaitan dalam proses itu pemerintah daerah tidak diikutsertakan di penyusunan UU Omnibus Law ini," kata Bima Arya.

Menurut dia, sebagai kepala daerah ia mempunyai catatan tentang UU Cipta Kerja yang sudah di sahkan pada Senin (5/10/2020) lalu, yakni dalam perizinan, tata ruang dan pelayanan publik.

"Pada intinya saya melihat bahwa upaya pemerintah mengatasi persoalan lebih harmonis dari regulasi itu patut diapresiasi, terurama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, melindungi UMKM dan pencapayan progres nasional," ucapnya.

Namun ia menuturkan, ada beberapa catatan yang perlu dibahas yakni pertama ada kesan bahwa, UU Cipta Kerja ini mengembalikan kembali kewenangan ke pemerintah pusat.

Baca Juga:Interview: Sandy Canester Bicara Soal Demo Rusuh UU Cipta Kerja

Bima menyampaikan, bahwa kewenangan ke pemerintah daerah ini ditarik kembali ke pusat. Padahal, sudah lebih dari dua dasawarsa pemerintah ini akan penting dalam pembangunan otonomi daerah.

"Karena di daerah adalah pelayanan publik itu wajahnya ditentukan dan akan lebih efektif, dan efesien, terjangkau, apabila pelayanan publik diberikan kewenangan penuh," tuturnya.

"Memang ada persoalan mengenai otonomi daerah, tetapi bukankah itu fungsi dari otonomi daerah dalam birokrasi tanpa henti, baik di pusat dan di daerah," sambungnya lagi.

Dirinya juga mencontohkan ada catatan dalam pasal 10 di UU Cipta Kerja mengenai izin usaha.

Dalam UU itu menyetakan, bahwa perizinan untuk usaha tinggi ini harus dilakukan di pemerintah pusat, kedua dalam tata ruang juga di sini diatur bahwa pemerintah daerah wajib menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

"Namun ada dua hal dari ini, yang pertama apakah ada kapasitas pusat maupun di daerah siap untuk pemanfaatan elektronik secara terpusat, dalam memperhatikan daya dukung informasi dan teknologi informasi di daerah dan pusat," jelasnya.

"Ke dua saya melihat, aturan ini seharusnya diiringi oleh kemudahan dalam prosedur dalam RDTR oleh pemerintah pusat. Padahal sampai hari ini banyak daerah yang belum mempunyai RDTR secara lengkap," jelasnya lagi.

Catatan ini sebagai fakta bagaimana dalam PP tahun 2014, bahwa dalam kurun waktu enam bulan pemerintah daerah wajib menetapkan RDTR sejak 2018, sampai hari ini di daerah belum mendapatkan prodak RDTR tersebut.

Hal lain juga kata Bima yang perlu dicermati dalam UU Cipta Kerja ini pada pasal 34.

Menyatakan, bahwa dalam hal ada kebijakan nasional yang berupa strategis dan belum di muat didalam tata ruang, serta zonasi pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan.

Ini tentunya tambah Bima, akan menimbulkan pertanyaan dalam pembanguan, pertama lingkungan hidup dan rencana menengah dan panjang di daerah, karena harus ada sinkronasi untuk disesuaikan.

"Terkait izin bangunan gedung juga di sini ada aturan, bahwa fungsi bangunan gedung ini ada, tapi harus persetujuan pemerintah pusat. Saya melihat bahwa disini ada banyak draft yang harus diatur dalam aturan tutrunannya, yakni dalam peraturan pemerintah dan presiden," sebutnya.

"Ada sekitar 36 catatan pemerintah dan enam persiden yang harus dirumuskan, inilah hal yang perlu dipastikan semua keturunan itu harus siap pada satu kewenangan daerah, dan ke dua perlindungan hidup dan prinsip berkelanjutan," tukasnya.

Kontributor : Andi Ahmad Sulaendi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini