Mahfud MD Ungkap Presiden-presiden Langgar Pancasila, Sebut Nama SBY

Mahfud mengakui jika tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan memang mengalami penurunan.

Pebriansyah Ariefana
Rabu, 21 Oktober 2020 | 15:27 WIB
Mahfud MD Ungkap Presiden-presiden Langgar Pancasila, Sebut Nama SBY
Mantan Presiden ke enam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Sekretariat Presiden)

Pada periode Januari hingga Agustus 2020 meletus 79 kasus konflik agraria dan lingkungan hidup yang di dalamnya juga terdapat kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat. Kasus sengketa lahan Masyarakat Adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, sampai sekarang masih berlangsung.
Kriminalisasi juga terjadi pada ketua masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing karena perlawanannya terhadap perampasan tanah adat Kinipan. Kriminalisasi juga terjadi pada tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan yang ditahan karena menebang pohon di kebunnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.

Sementara itu ancaman terhadap aktivis lingkungan terjadi pada aktivis WALHI Zenzi Suhadi yang digeledah rumahnya dengan tuduhan menyimpan narkoba dan tiga aktivis WALHI Kaltim yang dituduh positif Covid-19.

6. Membungkam kebebasan berpendapat

Dalam laporan tanda-tanda otoritarianisme pemerintah tahun 2019, YLBHI mencatat ada 28 indikator yang menguatkan hal itu dengan tiga pola yang mengindikasikan bangkitnya otoritarianisme di Indonesia, yakni, pertama, adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan. Ketiga, memiliki watak yang represif, yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.

Baca Juga:Mahfud MD Skakmat Amien Rais: Waktu Jadi Ketua MPR, Korupsi Masih Banyak

Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-Omnibus Law untuk mencegah penularan masif Covid-19. Hal ini bertentangan hak menyampaikan pendapat dan Perkapolri No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam Surat Telegram tersebut, Kapolri memerintahkan pula adanya polisi siber untuk menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terlihat polisi sudah menjadi alat kekuasaan/pemerintah padahal Konstitusi menyatakan polisi adalah alat negara.

Pihak-pihak yang bertentangan dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah justru dikriminalisasi menggunakan UU ITE, pemblokiran akun media sosial, peretasan akun mereka yang kritis kepada pemerintah, hingga pemadaman internet. Kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi. Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan terhadap massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law.

Pada periode sebelumnya LBH-YLBHI mencatat 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum, ditambah penangkapan 21 orang buruh yang berdemonstrasi pada 16 Agustus 2019. Selama Januari-September 2020, YLBHI-LBH juga mencatat 24 kasus penyiksaan di 9 provinsi di Indonesia.

Tanda-tanda pemerintahan yang otoriter beriringan dengan kebijakan pemerintah yang mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan. Ini akan bertentangan dengan TAP MPR VI/2000 yang sudah mencabut dwi fungsi ABRI. Pemerintah Jokowi justru melibatkan TNI dan Polri dalam struktur pemerintahan. TNI dan Polri menempati berbagai posisi di Kementerian/ Lembaga Negara mulai dari Kementerian, Lembaga Negara, Badan Usaha Milik Negara hingga Duta Besar. Dwi fungsi Polri semakin terlihat ketika terlibat dalam membuat kontra narasi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu.

7. Mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu

Baca Juga:Pemerintah Oligarkis? Mahfud: Pak Gatot Waktu Jadi Panglima Bagaimana?

Menurut catatan LBH-YLBHI tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak