Menilik Sejarah Masjid Jami Angke, Simbol Persatuan Antaretnis

Di tengah pandemi Covid-19, Abryan tak dapat membayangkan begitu sepinya perayaan Imlek tetangganya di sekitar Masjid Jami Angke.

Rizki Nurmansyah
Jum'at, 12 Februari 2021 | 08:05 WIB
Menilik Sejarah Masjid Jami Angke, Simbol Persatuan Antaretnis
Bangunan Masjid Jami Angke zaman dahulu. [Dok. Masjid Jami Tambora]

SuaraJakarta.id - Dibangun tahun 1761, siapa sangka Masjid Jami Angke Tambora, Jakarta Barat, ternyata dirancang oleh arsitek keturunan Tionghoa muslim, Syekh Liong Tan. Makam sang arsitek pun terletak di belakang masjid.

Masjid Jami Angke memiliki arsitektur unik dan bersejarah. Di setiap ornamennya menunjukkan simbol persatuan antaretnis: Hindu Bali, Belanda, dan China.

Ketua Bidang Bangunan dan Sejarah Masjid Jami Angke, Muhammad Abryan Abdillah menjelaskan, perpaduan arsitektur di masjid tersebut merupakan gambaran antarentnis yang zaman dahulu tinggal di sekitar wilayah tersebut.

"Atap masjidnya arsitektur Hindu Bali dan China, pintunya ukiran bunga Hindu Bali, pilarnya juga perpaduan Belanda dan China," ujar Abryan, Kamis (11/2/2021).

Baca Juga:Viral Masjid Hanyut ke Laut Terbawa Banjir, Bangunan Masih Utuh

"Di atapnya ada seperti nanas, itu simbol kerukunan. Jadi, masjid ini sudah berbicara tentang persatuan," sambungnya.

Bangunan yang sekarang menjadi cagar budaya tersebut dahulunya merupakan tempat untuk berembug dan merancang strategi perang.

Pada zaman dahulu, terjadi tragedi Angke di mana Belanda membantai etnis Tionghoa akibat keterpurukan ekonomi dan perdagangan.

Sebagian etnis Tionghoa kemudian melarikan diri ke Kampung Angke dan dilindungi penduduk asli di sana.

Seiring berkembangnya warga yang memeluk Islam, kebutuhan rumah ibadah menjadi pertimbangan. Sehingga tempat berembug antaretnis itu dibangun menjadi masjid.

Baca Juga:Jemaah dan Pengurus Dinyatakan Positif Covid-19, Arab Saudi Tutup 10 Masjid

Beberapa puluh tahun lalu, kata Abryan, masjid tersebut memiliki warna dominan merah dan emas yang menunjukkan adanya akulturasi budaya Tionghoa di lingkungan itu.

Namun pada 2017, ahli konservatori cagar budaya menyarankan agar bangunan Masjid Jami Angke tetap seperti bentuk aslinya hingga akhirnya sekarang dominan dengan warna natural dinding putih dan cokelat dari kayu jati.

Arsitektur Masjid Jami Angke menampilkan perpaduan antaretnis Hindu Bali, Tiongkok dan Belanda di Tambora, Jakarta Barat. [Dok. Masjid Jami Tambora]
Arsitektur Masjid Jami Angke menampilkan perpaduan antaretnis Hindu Bali, Tiongkok dan Belanda di Tambora, Jakarta Barat. [Dok. Masjid Jami Tambora]

Abryan menjelaskan kebanyakan dari penghuni Gang I Masjid Angke Tambora atau berdekatan dari masjid itu justru merupakan etnis Tionghoa.

Sehingga warga di sana punya tradisi unik ketika Imlek seperti berbagi kue-kue.

"Seperti Lebaran saja. Jadi dari kami orang asli sini dan muslim memberi kue kepada etnis Tionghoa dan diterima. Selanjutnya mereka membalasnya pakai kue keranjang," ujar dia dilansir dari Antara.

Setiap kali Imlek tiba, lanjut Abryan, banyak warga etnis Tionghoa yang lalu lalang di pemukiman sekitar masjid. Untuk berkunjung ke sanak saudara mereka.

Saat momen Imlek itu tiba, tak jarang warga asli Angke membantu mengatur parkiran mobil. Serta menyediakan jasa ojek paying kala hujan tiba.

Namun di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini, Abryan tak dapat membayangkan begitu sepinya perayaan Imlek tetangganya di sekitar Masjid Jami Angke.

"Mungkin nanti jarang ada yang membantu parkirkan mobil atau ojek payung, tapi kita nantikan saja," ujar dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini